TIPS MENJADI AYAH SUPER CARE
Oleh: Hj. IGA Widari, SE, M.Pd.
(Wakil Ketua II GOW Kab. Sumbawa & Kepala
TK Paracendekia NW Sumbawa)
Banyak orang berpendapat, dalam pengasuhan
anak peran ayah tidak terlalu penting, hanya ibulah yang memegang peranan penting.
Pandangan itu sebenarnya keliru. Pengasuhan anak semestinya merupakan
tanggung jawab ibu dan ayahnya. Ayah dan ibu sepantasnya merupakan tim atau duet yang kokoh. Sejak
anak dalam kandungan pun, hubungannya dengan ayah sudah terjalin sangat erat. Julianto Simanjuntak (Kompasiana, 21/02/2012) menjelaskan, “Menjadi dokter atau insiyur ada sekolahnya, tetapi menjadi ayah
yang lebih penting dari dokter tidak ada sekolahnya. Sekolah menjadi ayah itu di rumah. Jika kita dapat teladan baik dari
ayah kita, betapa beruntungnya kita.”
Seorang anak perempuan akan mempunyai
gambaran sesosok pendamping yang memiliki ciri seperti figur ayahnya jika sang ayah merupakan tauladan yang menjadi panutannya. Dalam buku The Golden Rules
to Raise Your Children, Dr. Alicia Christine (Kompas, 25/5/1010) menjelaskan bahwa bagi anak perempuan hubungan dengan ayahnya adalah salah satu faktor untuk dapat menentukan
jenis pria seperti apa yang akan menarik hatinya. Dari sisi lain, pemahamannya
tentang figur ayah
dapat membantunya dalam memilih jenis
hubungan yang akan dijalin. Dampak inilah yang akan tertanam di benaknya. Bagi seorang anak laki-laki, menjalin
hubungan dengan sosok ayah menjadi faktor penting untuk membentuk kepribadian dirinya dan hubungan serta harapannya terhadap orang lain.
Mengingat pentingnya
peran ayah untuk menjadi kebanggaan bagi anak-anaknya, setiap laki-laki dewasa
apalagi yang telah berkeluarga perlu memahami beberapa cara yang dapat membantunya menjadi ayah “SUPER”. Pertama, dalam interaksi, seorang ayah harus
bisa menghindari
konflik. Seorang ayah
sepantasnya memberi
contoh bagi si kecil bagaimana
seseorang mempunyai pasangan dengan tulus. Oleh karena itu, ia
mesti menghindari konflik dengan istri. Kendati konflik terjadi, ia harus menghindari melakukannya di depan mata si buah hati.
Kedua, seorang ayah
harus belajar
berempati dengan si kecil. Mendengar perasaan putra-putri saat mereka berkeluh, senang, atau dalam
momen apapun akan
membuat si kecil merasa dihargai. Perlu diingat bahwa mendengar bukan berarti memanjakan. Terakhir, seorang
ayah sebisa
mungkin terlibat dalam kehidupan anak. Hal ini bisa dimulai dengan hal sederhana tetapi penuh makna, misalnya menghadiri acara atau kegiatan yang dilakukan oleh sekolah putra-putrinya. Di rumah seorang ayah perlu terlibat secara rutin bersama anak-anaknya,
misalnya dengan
memberikan cerita-cerita pengantar tidur setiap malam sambil menemani si kecil beranjak
tidur (Kompas, 25/4/2010).
Dilihat dari
perspektif Islam, peran penting figur ayah disajikan dalam Kitab Suci Al-Qur’an
dan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an, sosok ayah antara lain digambarkan dalam
sosok teladan Lukmanul Hakim dan Nabi Ibrahim AS. Dalam QS. Luqman (31) ayat 13 dijelaskan bahwa Luqman berkata pada anaknya waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: “Anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.”
Dalam sejarah Islam juga dikisahkan bagaimana Nabi Ibrahim AS menunjukkan tentang kebesaran Allah. Ia sangat menyayangi putranya Ismail (yang kemudian menjadi nabi). Namun,
suatu malam ia
bermimpi, ada perintah Allah untuk menyembelih putranya tersebut. Ia mencintai anaknya karena Allah.
Oleh karena itu, ia ikhlas melaksanakan perintah Allah tersebut, yaitu untuk
menyembelih anaknya dan sang putra tersebut menyerahkan dirinya kepada Allah.
Dalam proses pengorbanan tersebut, Allah menunjukkan kebesaran-Nya dengan menggantikan sosok Nabi Ismail AS dengan seekor domba. Subhannallah Allah memberikan ganjaran bagi hambanya yang mencintai putra-putrinya
dengan ikhlas.
Rasulullah Muhammad SAW memberikan catatan bernilai tentang figur ayah. Beliau pernah bersabda “seorang ayah yang
mendidik anaknya lebih baik dariapada bersedekah sebesar 1 Sa” di jalan Allah. Nabi pun menjadi contoh melalui tindakan beliau. Ketika
beliau disibukkan dengan urusan menghadap Allah SWT (shalat), beliau tidak menyuruh orang lain (kaum perempuan)
untuk menjaga kedua cucunya (Hasan dan Husain). Bagi nabi, setiap waktu yang
dilalui bersama kedua cucunya adalah kesempatan untuk mendidik termasuk jika
beliau sedang shalat (Suara Islam, 28/01/2011).
Dalam paparan di atas
terdapat pesan implisit bahwa setiap laki-laki berkeluarga dan mempunyai anak
memiliki kewajiban menyisihkan waktu secara substansial untuk putra-putrinya.
Jabatan yang tinggi, kesibukan yang tak terhindarkan, menjadi tokoh masyarakat
atau publik figur sentral dan sederet kapasitas di luar rumah lainnya tidak
boleh menjadikan figur ayah sebagai sosok alien
(orang asing) atau sosok incompatible
(tidak terpakai) bagi para buah hati. Sebagaimana dicontohkan manusia mulia
Luqman, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW, seorang ayah harus berusaha
menggapai prestasi setinggi-tingginya karena Allah, kemudian putra-putri atau
anak cucu dapat menjadikan keunggulan tersebut sebagai salah satu resource (sumber daya) bagi kehidupan
mereka.
Demikianlah tulisan
singkat ini disampaikan. Semoga menjadi catatan bagi kaum laki-laki atau suami
untuk menjadi figur teladan bagi anak-anak mereka.