Sabtu, 04 Mei 2013

Ayah Super


TIPS MENJADI AYAH SUPER CARE

Oleh: Hj. IGA Widari, SE, M.Pd.
(Wakil Ketua II GOW Kab. Sumbawa & Kepala TK Paracendekia NW Sumbawa)


Banyak orang berpendapat, dalam pengasuhan anak peran ayah tidak terlalu penting, hanya ibulah yang memegang peranan penting. Pandangan itu sebenarnya keliru. Pengasuhan anak semestinya merupakan tanggung jawab ibu dan ayahnya. Ayah dan ibu sepantasnya merupakan tim atau duet yang kokoh. Sejak anak dalam kandungan pun, hubungannya dengan ayah sudah terjalin sangat erat. Julianto Simanjuntak (Kompasiana, 21/02/2012) menjelaskan, “Menjadi dokter atau insiyur ada sekolahnya, tetapi menjadi ayah yang lebih penting dari dokter tidak ada sekolahnya. Sekolah menjadi ayah itu di rumah. Jika kita dapat teladan baik dari ayah kita, betapa beruntungnya kita.”
Seorang anak perempuan akan mempunyai gambaran sesosok pendamping yang memiliki ciri seperti figur ayahnya jika sang ayah merupakan tauladan yang menjadi panutannya. Dalam buku The Golden Rules to Raise Your Children, Dr. Alicia Christine (Kompas, 25/5/1010) menjelaskan bahwa bagi anak perempuan hubungan dengan ayahnya adalah salah satu faktor untuk dapat menentukan jenis pria seperti apa yang akan menarik hatinya. Dari sisi lain, pemahamannya tentang figur ayah dapat membantunya dalam memilih jenis hubungan yang akan dijalin. Dampak inilah yang akan tertanam di benaknya. Bagi seorang anak laki-laki, menjalin hubungan dengan sosok ayah menjadi faktor penting untuk membentuk kepribadian dirinya dan hubungan serta harapannya terhadap orang lain.
Mengingat pentingnya peran ayah untuk menjadi kebanggaan bagi anak-anaknya, setiap laki-laki dewasa apalagi yang telah berkeluarga perlu memahami beberapa cara yang dapat membantunya menjadi ayah “SUPER”. Pertama, dalam interaksi, seorang ayah harus bisa menghindari konflik. Seorang ayah sepantasnya memberi contoh bagi si kecil bagaimana seseorang mempunyai pasangan dengan tulus. Oleh karena itu, ia mesti menghindari konflik dengan istri. Kendati konflik terjadi, ia harus menghindari melakukannya di depan mata si buah hati.
Kedua, seorang ayah harus belajar berempati dengan si kecil. Mendengar perasaan putra-putri saat mereka berkeluh, senang, atau dalam momen apapun akan membuat si kecil merasa dihargai. Perlu diingat bahwa mendengar bukan berarti memanjakan. Terakhir, seorang ayah sebisa mungkin terlibat dalam kehidupan anak. Hal ini bisa dimulai dengan hal sederhana tetapi penuh makna, misalnya menghadiri acara atau kegiatan yang dilakukan oleh sekolah putra-putrinya. Di rumah seorang ayah perlu terlibat secara rutin bersama anak-anaknya, misalnya dengan memberikan cerita-cerita pengantar tidur setiap malam sambil menemani si kecil beranjak tidur (Kompas, 25/4/2010).
Dilihat dari perspektif Islam, peran penting figur ayah disajikan dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an, sosok ayah antara lain digambarkan dalam sosok teladan Lukmanul Hakim dan Nabi Ibrahim AS. Dalam QS. Luqman (31) ayat 13 dijelaskan bahwa Luqman berkata pada anaknya waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.
Dalam sejarah Islam juga dikisahkan bagaimana Nabi Ibrahim AS menunjukkan tentang kebesaran Allah. Ia sangat menyayangi putranya Ismail (yang kemudian menjadi nabi). Namun, suatu malam ia bermimpi, ada perintah Allah untuk menyembelih putranya tersebut. Ia mencintai anaknya karena Allah. Oleh karena itu, ia ikhlas melaksanakan perintah Allah tersebut, yaitu untuk menyembelih anaknya dan sang putra tersebut menyerahkan dirinya kepada Allah. Dalam proses pengorbanan tersebut, Allah menunjukkan kebesaran-Nya dengan menggantikan sosok Nabi Ismail AS dengan seekor domba. Subhannallah Allah memberikan ganjaran bagi hambanya yang mencintai putra-putrinya dengan ikhlas.
Rasulullah Muhammad SAW memberikan catatan bernilai tentang figur ayah. Beliau pernah bersabda “seorang ayah yang mendidik anaknya lebih baik dariapada bersedekah sebesar 1 Sa” di jalan Allah. Nabi pun menjadi contoh melalui tindakan beliau. Ketika beliau disibukkan dengan urusan menghadap Allah SWT (shalat), beliau tidak menyuruh orang lain (kaum perempuan) untuk menjaga kedua cucunya (Hasan dan Husain). Bagi nabi, setiap waktu yang dilalui bersama kedua cucunya adalah kesempatan untuk mendidik termasuk jika beliau sedang shalat (Suara Islam, 28/01/2011).
Dalam paparan di atas terdapat pesan implisit bahwa setiap laki-laki berkeluarga dan mempunyai anak memiliki kewajiban menyisihkan waktu secara substansial untuk putra-putrinya. Jabatan yang tinggi, kesibukan yang tak terhindarkan, menjadi tokoh masyarakat atau publik figur sentral dan sederet kapasitas di luar rumah lainnya tidak boleh menjadikan figur ayah sebagai sosok alien (orang asing) atau sosok incompatible (tidak terpakai) bagi para buah hati. Sebagaimana dicontohkan manusia mulia Luqman, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW, seorang ayah harus berusaha menggapai prestasi setinggi-tingginya karena Allah, kemudian putra-putri atau anak cucu dapat menjadikan keunggulan tersebut sebagai salah satu resource (sumber daya) bagi kehidupan mereka.
Demikianlah tulisan singkat ini disampaikan. Semoga menjadi catatan bagi kaum laki-laki atau suami untuk menjadi figur teladan bagi anak-anak mereka.