PEMBELAJARAN
POSITIF, KREATIF
DAN MENYENANGKAN
HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Setiap guru pasti berharap bisa
mewujudkan pembelajaran positif, kreatif dan menyenangkan (P2KM) bagi semua
siswanya. Namun, pada kenyataannya, banyak guru yang masih terkungkung oleh
pola pikir sentralistik, monolitik dan uniformitas. Dalam kerangka pikir
seperti ini, guru mengajar sesuai dengan kebijakan dan kurikulum yang telah
ditetapkan dari atas dan keberhasilannya ditentukan melalui pencapaian nilai
tinggi dalam ujian yang diselenggarakan secara sentralistik pada akhir masa
studi pada satu satuan pendidikan. Kadang-kadang luput dari kesadaran bahwa
pembelajaran berorientasi hasil seperti ini umumnya telah mengabaikan proses
yang seharusnya membangun semangat, sikap positif dan kreatif dan dilakukan
dengan penuh sukacita oleh para siswa.
Sejatinya, seorang guru harus dapat
melihat masalah pada tempatnya; yaitu bahwa agenda kurikulum dan ujian nasional
tidak boleh mengurangi semangat mereka untuk mewujudkan P2KM apalagi saat ini
telah berlaku kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dan ujian hanya
berlaku pada beberapa pelajaran dan dilaksanakan pada akhir masa studi saja,
tidak setiap semester atau setiap tahun.
Dalam tulisan ini, penulis menyajikan
beberapa terobosan P2KM di dalam dan luar negeri, kemudian berdasarkan
pengalaman penulis sendiri. Pada bagian akhir, penulis merefleksikan terobosan
P2KM sesuai dengan pemaparan Profesor Degeng berjudul “Orkestra
belajar-mengajar kreatif untuk menumbuhkan keterampilan hidup” (2007).
P2KM:
Tinjauan Pustaka
Banyak pembelajaran kreatif telah
dikembangkan dalam rangka mewujudkan pembelajaran positif, kreatif dan
menyenangkan), sebagaimana dipaparkan berikut ini (Jazadi, 2005).
Hamzah dan Rahman (2002) menemukan
bahwa mahasiswanya di Jurusan Matematika Universitas Negeri Makasar tidak
terlibat dalam pembelajaran mendalam, ditunjukkan antara lain oleh
ketergantungan mereka hanya pada catatan-catatan kuliah sebagaimana ditulis
oleh dosen di papan tulis. Keprihatinan ini menginspirasikan mereka untuk
melakukan penelitian aksi dengan memperkenalkan pendekatan belajar baru, yaitu,
penulisan jurnal perkuliahan, untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk
belajar mandiri pada mata kuliah Geometri yang mereka bina. Mereka mengikuti
petunjuk ahli tentang prosedur pendekatan tersebut, seperti orientasi
teknik-teknik di awal tahun ajaran, kemudian penyiapan daftar bahan bacaan
(buku, jurnal dan makalah) yang dapat diakses oleh mahasiswa secara mandiri,
dan lain-lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para mahasiswa mengalami
perubahan dalam hal minat, cara dan hasil belajar setelah terbiasa melakukan
pendekatan baru tersebut. Tumbuh rasa cinta menulis dalam diri mereka dalam
tema-tema Geografi; mereka juga termotivasi mencari sendiri literatur-literatur
di luar perkuliahan. Singkatnya, ada perubahan signifikan dari cara belajar
yang sebelumnya sekedar untuk memenuhi persyaratan ujian (surface learning) menjadi cara belajar yang didorong secara
intrinsik untuk mengkaji pelajaran secara mendalam (deep learning).
Legutke dan Thomas (1991) melaporkan
beberapa studi kasus di Eropa tentang pengajaran bahasa asing yang dilakukan
berdasarkan project work. Project work adalah kegiatan belajar
mengajar yang didasarkan pada tema-tema dan tugas-tugas sehari-hari yang
dihasilkan dari kesepakatan bersama dari semua peserta belajar. Proyek
pembelajaran bahasa asing tersebut terdiri atas tiga macam: encounter, text, and class correspondence
projects. Proyek encounter
memungkinkan mahasiswa untuk membuat kontak langsung dengan pembicara asli,
misalnya, dengan mewawancarai turis dalam bahasa target di bandara, hotel,
perusahaan multinasional, dan pusat wisata. Pembicara asli juga diundang ke
sekolah untuk menjadi narasumber. Kedua, proyek “teks” memungkinkan mahasiswa
untuk bergumul dengan teks-teks dari kehidupan sehari-hari yang diperoleh dari
majalah, koran, berita dan film TV, lagu, puisi, stiker, brosur, manual, dan lain-lain.
Terakhir, proyek “korespondensi kelas” merangsang mahasiswa untuk berkomunikasi
dengan orang lain di luar negeri dalam bahasa target melalui surat, cerita
foto, dan teks yang memperkaya pemahaman lintas budaya.
Coleman (1996) melihat bahwa budaya ruang
kelas di Indonesia adalah ajang tontonan mengajar, teaching spectacles, di mana dosen adalah pemain aktif, sementara
mahasiswa adalah penonton pasif. Dia mengamati dalam kegiatan belajar mengajar
fenomena mahasiswa datang terlambat, keluar masuk ruangan, tanpa merasa
terganggu dengan dosen yang sibuk “pidato” di depan kelas, sebagai hal yang
lazim terjadi di Indonesia. Untuk itu, ia kemudian membuat inovasi gaya
pembelajaran yang ia sebut dengan learning
festival, di mana semua mahasiswa terlibat sebagai pemain atau memiliki
peran dalam kegiatan pembelajaran. Dengan gaya pembelajaran seperti itu,
Coleman melihat bahwa mahasiswa tidak lagi dibatasi aturan-aturan sosial yang
memisahkan diri mereka dengan yang lain dan dengan dosen; semua mahasiswa berdiri,
berinteraksi, bergabung, dan berbaur. Efektivitas pembelajaran semacam ini
dibantu oleh adanya asisten-asisten dosen atau dosen muda yang membantu
kegiatan komunikatif para mahasiswa yang mencapai jumlah seratus dalam satu
kelas.
P2KM:
Pengalaman Penulis
Salah satu pelajaran yang sangat
penting di sekolah adalah pelajaran bahasa Inggris karena bahasa ini sangat
diperlukan sebagai alat komunikasi global. Pada kenyataannya, bahasa Inggris masih
menjadi momok atau suatu hal yang menakutkan, mata pelajaran yang dibenci, dari
anak-anak SD sampai mahasiswa. Untuk membantu meningkatkan partisipasi dan
minat siswa terhadap bahasa Inggris, sejak beberapa tahun lalu, bersama suami,
saya telah membuka lembaga pendidikan nonformal bahasa Inggris. Segmen
pembelajaran yang menjadi tugas saya adalah program bahasa Inggris untuk
tingkat anak-anak (setara tingkat sekolah dasar), English for Children. Kami menyiapkan sarana belajar yang memadai
seperti LCD, video, televisi, tape
recorder, dan fasilitas multimedia lainnya.
Namun, rupanya anak-anak tidak
benar-benar termotivasi dalam belajar dengan hanya menonton dan merespon pada
bahan-bahan yang disajikan melalui multimedia tersebut. Mereka hanya tertarik
jika multimedia digunakan secara berseling dengan teknik-teknik mengajar yang
lain. Oleh karena itu, upaya mengembangkan pembelajaran yang positif, kreatif
dan menyenangkan (P2KM) pada pelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak tingkat
pemula terus kami upayakan.
Karena kondisi di atas, beberapa
strategi pembelajaran positif, kreatif dan menyenangkan (P2KM) telah kami
kembangkan. Pertama, mengajar tidak hanya menggunakan buku ajar, tetapi juga
melalui alat peraga berwarna dan realia seperti berbagai macam buah-buahan,
sayur-sayuran, mainan hewan, alat transportasi, pakaian, dan lain-lain. Respon dan
partisipasi positif anak-anak sangat kami rasakan. Anak-anak merasa bersemangat
dan sangat senang sehingga waktu pun tak terasa berlalu.
Kedua, kami menerapkan pembelajaran
berbasis rumah tangga (karena ruang belajar merupakan bagian dari rumah). Siswa
mempelajari kosakata dan kalimat sederhana terkait tema rumah dan pekarangannya
secara langsung dengan mengekplorasi seluruh bagian-bagian rumah termasuk
ruangannya, ciri dan isi masing-masing ruang, mulai ruang tamu sampai dapur dan
kamar mandi, termasuk mengeksplorasi nama-nama peralatan di dapur, di kulkas,
dan lain-lain. Semua dilakukan berbasis rumah tangga, artinya memanfaatkan
sebagian besar isi rumah sebagai alat bantu pembelajaran. Dengan demikian,
pembelajaran terasa hidup dan benar-benar sesuai kondisi sesungguhnya kehidupan
sehari-hari. Siswa sangat merasakan manfaat belajar. Mereka juga diberi tugas
untuk mengidentifikasi semua peralatan dan barang yang ada di rumah
masing-masing untuk memastikan bahwa bahasa Inggris mereka ada juga di rumah.
Strategi ketiga berkaitan dengan
lokasi belajar; belajar tidak hanya dilakukan di dalam kelas (indoor), tetapi juga di luar kelas (outdoor). Dalam hal ini, kami mengajak
siswa untuk berwisata ke pantai sambil belajar di alam terbuka. Mereka
mengidentifikasi benda-benda di sekelilingnya, kemudian mengingat dan
menuliskannya di buku catatan mereka dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Untuk
menguji memori, pelajaran tentang keadaan di pantai juga dibahas di kelas pada
pertemuan selanjutnya.
Stategi keempat adalah menghadirkan
tamu dari mancanegara sekali dalam setahun atau per triwulan. Kebetulan
beberapa petugas hotel memiliki hubungan persahabatan dengan kami sehingga
bersedia mengajak tamu yang tertarik untuk berkunjung ke kelas kami. Ini
bertujuan agar siswa bisa melihat atau berinteraksi secara langsung dengan
orang luar, merasa mampu mempraktikkan ilmu yang pernah diperoleh, dan berbagi
pengalaman dalam bahasa Inggris. Strategi terakhir adalah menyediakan
perpustakaan mini, sederhana tetapi menambah wawasan siswa; buku bisa
diperpinjamkan untuk dibawa pulang. Ini sebagai salah satu sarana untuk
membantu siswa, terutama yang kurang mampu untuk membeli buku. Karena tidak
cukup wawasan hanya melalui atau membawa diktat wajib yang disediakan
pengelola.
Melalui strategi dan teknik di atas,
anak-anak tampak selalu berusaha menguasai kompetensi yang dipersyaratkan
dengan penuh semangat.
Refleksi
dan Kesimpulan
Contoh-contoh pembelajaran kreatif
baik yang disampaikan di atas menunjukkan bahwa indikator keberhasilan
belajar-mengajar adalah “anak sejahtera”, yaitu bahwa aktivitas belajar mereka
menyenangkan dan menggairahkan. Para siswa atau mahasiswa dalam contoh-contoh
tersebut diberi kebebasan untuk belajar secara santai, diberi bekal untuk belajar
di luar kelas sehingga dapat menemukan ketakjuban-ketakjuban melalui pencarian
mereka sendiri.
Para guru dan dosen dalam contoh
tersebut telah taat azas dengan memasuki dunia peserta belajar, membawa dunia
siswa ke dalam dunia mereka sebagai guru dan mengantar dunia mereka sebagai
guru ke dalam dunia siswa. Masing-masing mereka telah melihat kenyataan betapa
kondisi pembelajaran konvensional (tanpa upaya kreatif) seperti yang sebelumnya
terjadi tidak memiliki dampak pembelajaran pada siswa atau mahasiswa. Yang
tampak tak lebih bahwa peserta belajar tersebut mengikuti program belajar,
tidak semata-mata belajar, dan akhirnya dinyatakan tamat belajar dengan
indikator kelulusan hasil ujian yang nota bene tidak merefleksikan keterampilan
hidup. Pendidik-pendidik tersebut berhasil mengubah suasana pembelajaran
menjadi dinamis dan menyenangkan, termasuk mencapai hasil belajar yang terukur
sebagai keterampilan hidup.
Dari apa yang dipaparkan Hamzah dan
Rahman (2002), dijelaskan bahwa mahasiswa terlebih dahulu dilatih dengan
keterampilan belajar sesuai dengan anjuran ahli termasuk cara menemukan
referensi, berkonsentrasi, membaca, mencatat, dan mengingat.
Keterampilan-keterampilan tersebut kemudian dapat dipraktekkan secara mandiri
di luar kelas dan jadwal kuliah sehingga memberikan keleluasaan, kenyamanan dan
motivasi yang kuat pada diri mahasiswa. Cara-cara tersebut telah mengubah
kebiasaan-kebiasaan belajar mahasiswa secara fundamental menjadi lebih baik.
Laporan Legutke dan Thomas (1991)
menunjukkan satu contoh pembelajaran yang meliputi penetapan tujuan bersama,
membangun prinsip dan nilai bersama, membangun keyakinan dan kemampuan diri
siswa, membangun kesepakatan, kebijakan, prosedur dan aturan bersama, dan
membangun kemitraan dalam belajar. Proses pembelajaran ini mencerminkan
pengakomodasian dan pengelompokan minat peserta belajar dan bagaimana
masalah-masalah kehidupan sesungguhnya dihadapi dan dipecahkan. Percobaan yang
dilakukan Coleman menunjukkan analogi suasana pembelajaran konvensional dengan
budaya masyarakat setempat dan melalui telaah kritis telah diformulasikan
agenda budaya baru yang lebih kondusif dalam konteks pembelajaran. Dunia siswa
telah dimasuki dan kemudian rekonstruksi (dunia guru) telah ditawarkan.
Akhirnya, strategi-strategi pembelajaran
yang telah penulis sendiri kembangkan berkaitan dengan konteks yang menggubah
suasana yang menggairahkan, yaitu membangun motivasi, menjalin rasa simpati dan
saling pengertian, membangun keriangan dan ketakjuban dan menampilkan
keteladanan. Semua strategi tersebut cocok untuk konteks anak-anak termasuk
yang berada usia sekolah dasar.
Singkatnya, semua contoh pembelajaran
yang penulis paparkan di atas termasuk dalam kategori P2KM yang merupakan
Orkestra Belajar-Mengajar Kreatif.
Daftar Rujukan
Coleman, H.
(1996). Shadow puppets and language lessons: Interpreting classroom behaviour
in its cultural context. In H. Coleman (Ed.), Society and the language
classroom (pp. 64-85). Cambridge: Cambridge University Press.
Degeng, N.S. (2007, 9/16). Orkestra Belajar-Mengajar Kreatif, slide perkuliahan Universitas
Adi Buana Surabaya.
Hamzah, &
Rahman, A. (2002). Peningkatan Kemampuan Mahasiswa untuk Belajar Mandiri pada
Mata Kuliah Geografi Melalui Penulisan Jurnal Perkuliahan. Jurnal Ilmu
Pendidikan, 9(2), 142-150.
Jazadi, I. (2005). Evaluasi dan Pengembangan
Proses Belajar di Perguruan Tinggi. Jurnal
Ilmu Pendidikan, 12(1), 1-17.
Legutke, M., & Thomas, H. (1991). Process
and experience in the language classroom. London; New York: Longman.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 5 & 6 Februari 2008)