Sabtu, 04 Mei 2013

Ayah Super


TIPS MENJADI AYAH SUPER CARE

Oleh: Hj. IGA Widari, SE, M.Pd.
(Wakil Ketua II GOW Kab. Sumbawa & Kepala TK Paracendekia NW Sumbawa)


Banyak orang berpendapat, dalam pengasuhan anak peran ayah tidak terlalu penting, hanya ibulah yang memegang peranan penting. Pandangan itu sebenarnya keliru. Pengasuhan anak semestinya merupakan tanggung jawab ibu dan ayahnya. Ayah dan ibu sepantasnya merupakan tim atau duet yang kokoh. Sejak anak dalam kandungan pun, hubungannya dengan ayah sudah terjalin sangat erat. Julianto Simanjuntak (Kompasiana, 21/02/2012) menjelaskan, “Menjadi dokter atau insiyur ada sekolahnya, tetapi menjadi ayah yang lebih penting dari dokter tidak ada sekolahnya. Sekolah menjadi ayah itu di rumah. Jika kita dapat teladan baik dari ayah kita, betapa beruntungnya kita.”
Seorang anak perempuan akan mempunyai gambaran sesosok pendamping yang memiliki ciri seperti figur ayahnya jika sang ayah merupakan tauladan yang menjadi panutannya. Dalam buku The Golden Rules to Raise Your Children, Dr. Alicia Christine (Kompas, 25/5/1010) menjelaskan bahwa bagi anak perempuan hubungan dengan ayahnya adalah salah satu faktor untuk dapat menentukan jenis pria seperti apa yang akan menarik hatinya. Dari sisi lain, pemahamannya tentang figur ayah dapat membantunya dalam memilih jenis hubungan yang akan dijalin. Dampak inilah yang akan tertanam di benaknya. Bagi seorang anak laki-laki, menjalin hubungan dengan sosok ayah menjadi faktor penting untuk membentuk kepribadian dirinya dan hubungan serta harapannya terhadap orang lain.
Mengingat pentingnya peran ayah untuk menjadi kebanggaan bagi anak-anaknya, setiap laki-laki dewasa apalagi yang telah berkeluarga perlu memahami beberapa cara yang dapat membantunya menjadi ayah “SUPER”. Pertama, dalam interaksi, seorang ayah harus bisa menghindari konflik. Seorang ayah sepantasnya memberi contoh bagi si kecil bagaimana seseorang mempunyai pasangan dengan tulus. Oleh karena itu, ia mesti menghindari konflik dengan istri. Kendati konflik terjadi, ia harus menghindari melakukannya di depan mata si buah hati.
Kedua, seorang ayah harus belajar berempati dengan si kecil. Mendengar perasaan putra-putri saat mereka berkeluh, senang, atau dalam momen apapun akan membuat si kecil merasa dihargai. Perlu diingat bahwa mendengar bukan berarti memanjakan. Terakhir, seorang ayah sebisa mungkin terlibat dalam kehidupan anak. Hal ini bisa dimulai dengan hal sederhana tetapi penuh makna, misalnya menghadiri acara atau kegiatan yang dilakukan oleh sekolah putra-putrinya. Di rumah seorang ayah perlu terlibat secara rutin bersama anak-anaknya, misalnya dengan memberikan cerita-cerita pengantar tidur setiap malam sambil menemani si kecil beranjak tidur (Kompas, 25/4/2010).
Dilihat dari perspektif Islam, peran penting figur ayah disajikan dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an, sosok ayah antara lain digambarkan dalam sosok teladan Lukmanul Hakim dan Nabi Ibrahim AS. Dalam QS. Luqman (31) ayat 13 dijelaskan bahwa Luqman berkata pada anaknya waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.
Dalam sejarah Islam juga dikisahkan bagaimana Nabi Ibrahim AS menunjukkan tentang kebesaran Allah. Ia sangat menyayangi putranya Ismail (yang kemudian menjadi nabi). Namun, suatu malam ia bermimpi, ada perintah Allah untuk menyembelih putranya tersebut. Ia mencintai anaknya karena Allah. Oleh karena itu, ia ikhlas melaksanakan perintah Allah tersebut, yaitu untuk menyembelih anaknya dan sang putra tersebut menyerahkan dirinya kepada Allah. Dalam proses pengorbanan tersebut, Allah menunjukkan kebesaran-Nya dengan menggantikan sosok Nabi Ismail AS dengan seekor domba. Subhannallah Allah memberikan ganjaran bagi hambanya yang mencintai putra-putrinya dengan ikhlas.
Rasulullah Muhammad SAW memberikan catatan bernilai tentang figur ayah. Beliau pernah bersabda “seorang ayah yang mendidik anaknya lebih baik dariapada bersedekah sebesar 1 Sa” di jalan Allah. Nabi pun menjadi contoh melalui tindakan beliau. Ketika beliau disibukkan dengan urusan menghadap Allah SWT (shalat), beliau tidak menyuruh orang lain (kaum perempuan) untuk menjaga kedua cucunya (Hasan dan Husain). Bagi nabi, setiap waktu yang dilalui bersama kedua cucunya adalah kesempatan untuk mendidik termasuk jika beliau sedang shalat (Suara Islam, 28/01/2011).
Dalam paparan di atas terdapat pesan implisit bahwa setiap laki-laki berkeluarga dan mempunyai anak memiliki kewajiban menyisihkan waktu secara substansial untuk putra-putrinya. Jabatan yang tinggi, kesibukan yang tak terhindarkan, menjadi tokoh masyarakat atau publik figur sentral dan sederet kapasitas di luar rumah lainnya tidak boleh menjadikan figur ayah sebagai sosok alien (orang asing) atau sosok incompatible (tidak terpakai) bagi para buah hati. Sebagaimana dicontohkan manusia mulia Luqman, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW, seorang ayah harus berusaha menggapai prestasi setinggi-tingginya karena Allah, kemudian putra-putri atau anak cucu dapat menjadikan keunggulan tersebut sebagai salah satu resource (sumber daya) bagi kehidupan mereka.
Demikianlah tulisan singkat ini disampaikan. Semoga menjadi catatan bagi kaum laki-laki atau suami untuk menjadi figur teladan bagi anak-anak mereka.

Sabtu, 12 Mei 2012

Working mom, karir ok, rumah tangga ok


WORKING  MOM

Karir ok, rumah  tangga ok! Kado Hari Kartini


Hj. IGA WIDARI, SE, M.Pd.
(Ketua II GOW Kab. Sumbawa; Ketum PD Muslimat NW Kab. Sumbawa;
Puket II STKIP Paracendekia NW Sumbawa)


Bekerja adalah ibadah. Ibadah adalah cinta. Dan bakti kita pada sang Pencipta. Maka, bekerjalah dengan cinta (Elly Mulyadi, 2009). Bekerja adalah keseharian kita. Tiada detik tanpa kita bekerja, saat kita lelap dalam tidurpun, jantung kita selalu tak henti berdenyut. 
Pada era sekarang ini, keadaan wanita bekerja di luar rumah adalah wujud dari kebutuhan pragmatis dan aktualisasi. Kebutuhan pragmatis terkait dengan desakan terpenuhinya berbagai keperluan hidup. Kebutuhan yang harus dipenuhi semakin banyak, tidak hanya kebutuhan untuk makan, tetapi juga untuk biaya pendidikan anak, hiburan, asuransi masa depan, pajak dan lain-lain. Sementara itu, pekerjaan suami di luar rumah acapkali hanya dapat memenuhi sebagian atau jumlah pas-pasan dari berbagai keperluan hidup tersebut. Dengan penghargaan untuk berkiprah setara dengan pria, seorang wanita sebagai pendamping atau partner suami terdorong untuk bisa membantu perekonomian keluarga. Inilah alasan utama mengapa sekarang ini  banyak kita jumpai wanita bekerja di berbagai sektor, baik swasta maupun pemerintah.
Alasan penting lain bagi wanita untuk berkarir adalah hak untuk mengaktualisasikan diri. Pada kenyataannya, tidak ada pekerjaan yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki. Perempuan juga dapat membuktikan dirinya melakukan yang terbaik, termasuk pada pekerjaan yang sifatnya tidak tradisional bagi mereka, seperti menjadi astronot, dokter, polisi, konsultan, hakim, politisi bahkan menjadi kepala negara. Dengan hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya, perempuan memiliki peluang akses yang sama dalam meniti karir di berbagai lapangan profesi. Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan keunggulan perempuan dalam unjuk kerja terkait dengan pekerjaan yang sifatnya rutin tetapi  membutuhkan  keuletan, ketelitian dan kesabaran pelakunya.
Dalam kajian Islam, wanita diharapkan menjadi sosok sholehah yang  mampu  mengabdi pada orang tua dan suami, dan mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi generasi bintang yang sukses dunia dan akhirat. Dengan kecenderungan demikian, banyak orang beranggapan bahwa dalam Islam wanita diharapkan bekerja hanya untuk mengurus anak-anak dan pekerjaan rutin rumah tangga saja. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Pada Zaman Rasullullah SAW, ada wanita yang mempunyai peran ganda. Selain menjadi seorang ibu rumah tangga, mereka juga berperan sebagai partner dalam dunia bisnis dan kegiatan luar rumah lainnya. Contohnya, istri pertama Rasul, Siti Khadijah, dikenal sebagai wanita pengusaha yang kaya, terlibat dalam kegiatan perdagangan di dalam dan luar negeri. Beliau juga  memiliki banyak karyawan yang membantu kelancaran usahanya. Walaupun, di sisi lain, pada masa itu, banyak juga wanita yang tidak diizinkan bekerja oleh suaminya.
Pemikiran dan keputusan bahwa wanita sebaiknya berada di rumah memang sering didasari pada kecenderungan kodrati, bahwa ditinjau dari segi fisik, wanita dianggap lemah sehingga tidak mampu bekerja terlalu berat. Ada juga faktor penyebab lain, misalnya, kekhawatiran timbulnya fitnah atau hal-hal buruk yang menimpa mereka sekiranya berada di luar rumah. Tarik menarik peran wanita pada dua sisi tersebut berlanjut sepanjang masa, termasuk saat ini. Namun, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, setelah wanita menempuh pendidikan dan pelatihan, mereka memiliki pengetahuan, sikap, keterampilan dan keahlian yang dapat digunakan untuk mengemban karir pilihan mereka.
Dari paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa selama wanita mampu menjalankan atau menata tugasnya sebagai istri dan ibu untuk anaknya serta mampu menjaga dirinya (kata-kata maupun perbutan serta penampilannya secara Islami), mereka boleh bekerja di luar rumah. Tentu inipun tidak lepas dari izin dari suami mereka. Jadi, jika seorang wanita memutuskan untuk menjadi wanita karir dengan berbagai masalahnya, iapun semestinya bisa menerima konsekuensi dengan rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Ia harus mengatur waktu sebaik mungkin untuk karir dan keluarganya sekaligus. Ia harus membuat pembagian tugas dengan suami. Kalaupun ada pembantu rumah tangga yang dapat meringankan pekerjaan rumah, peran wanita sebagai manajer rumah tangga tetap sangat dominan dan menentukan.
Lebih jauh, beberapa ahli mengemukan pendapat tentang peran ganda wanita di dalam dan luar rumah. Dr. Maya dan Wido dalam bukunya “Profesional Mother” mengungkapkan bahwa seorang ibu yang mempunyai profesi sebagai ibu rumah tanggapun tidak bisa kita anggap remeh. Mereka tentu sepantasnya berperan sebagai seorang ibu rumah tangga yang profesional (“profesional mother”). Dengan kata lain, seorang wanita yang memilih berada di rumah tidaklah berarti tidak memiliki kiprah sebagai profesional. Bisa jadi ia memilih berkiprah untuk suami dan anak-anak atau rumah tangganya secara umum, di samping sebagai panggilan kewanitaannya, juga karena ia memiliki keahlian, pendidikan dan pelatihan berkaitan dengan pendidikan atau manajemen rumah tangga. Melalui tangan-tangan dingin merekalah lahir para ilmuwan, cendekiawan dan bahkan para pemimpin dunia masa depan. Di samping itu, dari tangan dingin para istri yang perkasa, muncul laki-laki atau suami-suami yang menjadi pejabat-pejabat penting dan menghasilkan karya-karya menakjubkan di dunia, baik dalam pemerintahan maupun dalam usaha swasta.
Selanjutnya, Rieny Hassan, seorang psikolog terkemuka mengungkapkan bahwa bekerja bukan berarti harus bekerja menjadi PNS ataupun di perusahaan. Bekerja juga bisa dilakukan di rumah dengan membuka usaha yang bisa menghasilkan uang. Hidup tidak selalu memberi apa yang kita inginkan. Oleh karena itu, banyak kompromi yang harus dilakukan untuk menjalani hidup ini. Seorang wanita tetap bisa berkarir di luar rumah tanpa harus meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga. Yang perlu ia siapkan adalah rasa cinta dalam keluarga. Kontrol dan kendali ada di tangan sang wanita.
Terakhir, James Roney, seorang psikolog  dari Universitas California, Santa Barbara, mengungkapkan bahwa bukan zamannya lagi sekarang bahwa urusan anak mutlak kewajiban seorang ibu. Dalam penelitiannya, ia menemukan adanya kecenderungan wanita tertarik untuk membina hubungan yang serius dengan pria yang menyukai anak-anak. Bahkan melalui raut muka saja wanita dapat memilih laki-laki menarik sebagai figur ayah yang baik kelak bagi anak-anaknya. Semakin besar penilaian mereka terhadap pria yang menyukai anak-anak, semakin besar keinginan mereka untuk menjalin hubungan jangka panjang. Dengan kata lain, sebagaimana halnya bagi wanita untuk berkiprah mendukung suami dengan berkarir atau berkiprah di luar rumah, lak-laki juga dapat membantu istri dengan menjadi pemain penting dalam pendidikan anak dan penataan rumah tangga pada umumnya, di samping bekerja di luar rumah.
Dari pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa wanita yang bekerja hendaknya mampu membagi waktu dengan bijak antara karir dan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Bahwa wanita bekerja adalah lumrah bahkan sunnatullah, yakni bahwa wanita senantiasa mengindahkan norma-norma agama dan sosial, serta tetap memerankan ibu rumah tangga sebagai pilar terwujudnya keluarga sakinah mawaddah, warahmah. Dalam konteks ini, kaum laki-laki mendukung sepenuhnya pilihan kiprah kaum wanita demi kemajuan peradaban dan bangsa ini seutuhnya. Selamat Hari Kartini.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 20 April 2012)
           

Pembelajaran Positif, Kreatif dan Menyenangkan

PEMBELAJARAN POSITIF, KREATIF 
DAN MENYENANGKAN

HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa


 Setiap guru pasti berharap bisa mewujudkan pembelajaran positif, kreatif dan menyenangkan (P2KM) bagi semua siswanya. Namun, pada kenyataannya, banyak guru yang masih terkungkung oleh pola pikir sentralistik, monolitik dan uniformitas. Dalam kerangka pikir seperti ini, guru mengajar sesuai dengan kebijakan dan kurikulum yang telah ditetapkan dari atas dan keberhasilannya ditentukan melalui pencapaian nilai tinggi dalam ujian yang diselenggarakan secara sentralistik pada akhir masa studi pada satu satuan pendidikan. Kadang-kadang luput dari kesadaran bahwa pembelajaran berorientasi hasil seperti ini umumnya telah mengabaikan proses yang seharusnya membangun semangat, sikap positif dan kreatif dan dilakukan dengan penuh sukacita oleh para siswa.
Sejatinya, seorang guru harus dapat melihat masalah pada tempatnya; yaitu bahwa agenda kurikulum dan ujian nasional tidak boleh mengurangi semangat mereka untuk mewujudkan P2KM apalagi saat ini telah berlaku kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dan ujian hanya berlaku pada beberapa pelajaran dan dilaksanakan pada akhir masa studi saja, tidak setiap semester atau setiap tahun.
Dalam tulisan ini, penulis menyajikan beberapa terobosan P2KM di dalam dan luar negeri, kemudian berdasarkan pengalaman penulis sendiri. Pada bagian akhir, penulis merefleksikan terobosan P2KM sesuai dengan pemaparan Profesor Degeng berjudul “Orkestra belajar-mengajar kreatif untuk menumbuhkan keterampilan hidup” (2007).

P2KM: Tinjauan Pustaka
Banyak pembelajaran kreatif telah dikembangkan dalam rangka mewujudkan pembelajaran positif, kreatif dan menyenangkan), sebagaimana dipaparkan berikut ini (Jazadi, 2005).
Hamzah dan Rahman (2002) menemukan bahwa mahasiswanya di Jurusan Matematika Universitas Negeri Makasar tidak terlibat dalam pembelajaran mendalam, ditunjukkan antara lain oleh ketergantungan mereka hanya pada catatan-catatan kuliah sebagaimana ditulis oleh dosen di papan tulis. Keprihatinan ini menginspirasikan mereka untuk melakukan penelitian aksi dengan memperkenalkan pendekatan belajar baru, yaitu, penulisan jurnal perkuliahan, untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk belajar mandiri pada mata kuliah Geometri yang mereka bina. Mereka mengikuti petunjuk ahli tentang prosedur pendekatan tersebut, seperti orientasi teknik-teknik di awal tahun ajaran, kemudian penyiapan daftar bahan bacaan (buku, jurnal dan makalah) yang dapat diakses oleh mahasiswa secara mandiri, dan lain-lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para mahasiswa mengalami perubahan dalam hal minat, cara dan hasil belajar setelah terbiasa melakukan pendekatan baru tersebut. Tumbuh rasa cinta menulis dalam diri mereka dalam tema-tema Geografi; mereka juga termotivasi mencari sendiri literatur-literatur di luar perkuliahan. Singkatnya, ada perubahan signifikan dari cara belajar yang sebelumnya sekedar untuk memenuhi persyaratan ujian (surface learning) menjadi cara belajar yang didorong secara intrinsik untuk mengkaji pelajaran secara mendalam (deep learning).
Legutke dan Thomas (1991) melaporkan beberapa studi kasus di Eropa tentang pengajaran bahasa asing yang dilakukan berdasarkan project work. Project work adalah kegiatan belajar mengajar yang didasarkan pada tema-tema dan tugas-tugas sehari-hari yang dihasilkan dari kesepakatan bersama dari semua peserta belajar. Proyek pembelajaran bahasa asing tersebut terdiri atas tiga macam: encounter, text, and class correspondence projects. Proyek encounter memungkinkan mahasiswa untuk membuat kontak langsung dengan pembicara asli, misalnya, dengan mewawancarai turis dalam bahasa target di bandara, hotel, perusahaan multinasional, dan pusat wisata. Pembicara asli juga diundang ke sekolah untuk menjadi narasumber. Kedua, proyek “teks” memungkinkan mahasiswa untuk bergumul dengan teks-teks dari kehidupan sehari-hari yang diperoleh dari majalah, koran, berita dan film TV, lagu, puisi, stiker, brosur, manual, dan lain-lain. Terakhir, proyek “korespondensi kelas” merangsang mahasiswa untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar negeri dalam bahasa target melalui surat, cerita foto, dan teks yang memperkaya pemahaman lintas budaya.
Coleman (1996) melihat bahwa budaya ruang kelas di Indonesia adalah ajang tontonan mengajar, teaching spectacles, di mana dosen adalah pemain aktif, sementara mahasiswa adalah penonton pasif. Dia mengamati dalam kegiatan belajar mengajar fenomena mahasiswa datang terlambat, keluar masuk ruangan, tanpa merasa terganggu dengan dosen yang sibuk “pidato” di depan kelas, sebagai hal yang lazim terjadi di Indonesia. Untuk itu, ia kemudian membuat inovasi gaya pembelajaran yang ia sebut dengan learning festival, di mana semua mahasiswa terlibat sebagai pemain atau memiliki peran dalam kegiatan pembelajaran. Dengan gaya pembelajaran seperti itu, Coleman melihat bahwa mahasiswa tidak lagi dibatasi aturan-aturan sosial yang memisahkan diri mereka dengan yang lain dan dengan dosen; semua mahasiswa berdiri, berinteraksi, bergabung, dan berbaur. Efektivitas pembelajaran semacam ini dibantu oleh adanya asisten-asisten dosen atau dosen muda yang membantu kegiatan komunikatif para mahasiswa yang mencapai jumlah seratus dalam satu kelas.

P2KM: Pengalaman Penulis
Salah satu pelajaran yang sangat penting di sekolah adalah pelajaran bahasa Inggris karena bahasa ini sangat diperlukan sebagai alat komunikasi global. Pada kenyataannya, bahasa Inggris masih menjadi momok atau suatu hal yang menakutkan, mata pelajaran yang dibenci, dari anak-anak SD sampai mahasiswa. Untuk membantu meningkatkan partisipasi dan minat siswa terhadap bahasa Inggris, sejak beberapa tahun lalu, bersama suami, saya telah membuka lembaga pendidikan nonformal bahasa Inggris. Segmen pembelajaran yang menjadi tugas saya adalah program bahasa Inggris untuk tingkat anak-anak (setara tingkat sekolah dasar), English for Children. Kami menyiapkan sarana belajar yang memadai seperti LCD, video, televisi, tape recorder, dan fasilitas multimedia lainnya.
Namun, rupanya anak-anak tidak benar-benar termotivasi dalam belajar dengan hanya menonton dan merespon pada bahan-bahan yang disajikan melalui multimedia tersebut. Mereka hanya tertarik jika multimedia digunakan secara berseling dengan teknik-teknik mengajar yang lain. Oleh karena itu, upaya mengembangkan pembelajaran yang positif, kreatif dan menyenangkan (P2KM) pada pelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak tingkat pemula terus kami upayakan.
Karena kondisi di atas, beberapa strategi pembelajaran positif, kreatif dan menyenangkan (P2KM) telah kami kembangkan. Pertama, mengajar tidak hanya menggunakan buku ajar, tetapi juga melalui alat peraga berwarna dan realia seperti berbagai macam buah-buahan, sayur-sayuran, mainan hewan, alat transportasi, pakaian, dan lain-lain. Respon dan partisipasi positif anak-anak sangat kami rasakan. Anak-anak merasa bersemangat dan sangat senang sehingga waktu pun tak terasa berlalu.
Kedua, kami menerapkan pembelajaran berbasis rumah tangga (karena ruang belajar merupakan bagian dari rumah). Siswa mempelajari kosakata dan kalimat sederhana terkait tema rumah dan pekarangannya secara langsung dengan mengekplorasi seluruh bagian-bagian rumah termasuk ruangannya, ciri dan isi masing-masing ruang, mulai ruang tamu sampai dapur dan kamar mandi, termasuk mengeksplorasi nama-nama peralatan di dapur, di kulkas, dan lain-lain. Semua dilakukan berbasis rumah tangga, artinya memanfaatkan sebagian besar isi rumah sebagai alat bantu pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran terasa hidup dan benar-benar sesuai kondisi sesungguhnya kehidupan sehari-hari. Siswa sangat merasakan manfaat belajar. Mereka juga diberi tugas untuk mengidentifikasi semua peralatan dan barang yang ada di rumah masing-masing untuk memastikan bahwa bahasa Inggris mereka ada juga di rumah.
Strategi ketiga berkaitan dengan lokasi belajar; belajar tidak hanya dilakukan di dalam kelas (indoor), tetapi juga di luar kelas (outdoor). Dalam hal ini, kami mengajak siswa untuk berwisata ke pantai sambil belajar di alam terbuka. Mereka mengidentifikasi benda-benda di sekelilingnya, kemudian mengingat dan menuliskannya di buku catatan mereka dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Untuk menguji memori, pelajaran tentang keadaan di pantai juga dibahas di kelas pada pertemuan selanjutnya.
Stategi keempat adalah menghadirkan tamu dari mancanegara sekali dalam setahun atau per triwulan. Kebetulan beberapa petugas hotel memiliki hubungan persahabatan dengan kami sehingga bersedia mengajak tamu yang tertarik untuk berkunjung ke kelas kami. Ini bertujuan agar siswa bisa melihat atau berinteraksi secara langsung dengan orang luar, merasa mampu mempraktikkan ilmu yang pernah diperoleh, dan berbagi pengalaman dalam bahasa Inggris. Strategi terakhir adalah menyediakan perpustakaan mini, sederhana tetapi menambah wawasan siswa; buku bisa diperpinjamkan untuk dibawa pulang. Ini sebagai salah satu sarana untuk membantu siswa, terutama yang kurang mampu untuk membeli buku. Karena tidak cukup wawasan hanya melalui atau membawa diktat wajib yang disediakan pengelola.
Melalui strategi dan teknik di atas, anak-anak tampak selalu berusaha menguasai kompetensi yang dipersyaratkan dengan penuh semangat.

Refleksi dan Kesimpulan
Contoh-contoh pembelajaran kreatif baik yang disampaikan di atas menunjukkan bahwa indikator keberhasilan belajar-mengajar adalah “anak sejahtera”, yaitu bahwa aktivitas belajar mereka menyenangkan dan menggairahkan. Para siswa atau mahasiswa dalam contoh-contoh tersebut diberi kebebasan untuk belajar secara santai, diberi bekal untuk belajar di luar kelas sehingga dapat menemukan ketakjuban-ketakjuban melalui pencarian mereka sendiri.
Para guru dan dosen dalam contoh tersebut telah taat azas dengan memasuki dunia peserta belajar, membawa dunia siswa ke dalam dunia mereka sebagai guru dan mengantar dunia mereka sebagai guru ke dalam dunia siswa. Masing-masing mereka telah melihat kenyataan betapa kondisi pembelajaran konvensional (tanpa upaya kreatif) seperti yang sebelumnya terjadi tidak memiliki dampak pembelajaran pada siswa atau mahasiswa. Yang tampak tak lebih bahwa peserta belajar tersebut mengikuti program belajar, tidak semata-mata belajar, dan akhirnya dinyatakan tamat belajar dengan indikator kelulusan hasil ujian yang nota bene tidak merefleksikan keterampilan hidup. Pendidik-pendidik tersebut berhasil mengubah suasana pembelajaran menjadi dinamis dan menyenangkan, termasuk mencapai hasil belajar yang terukur sebagai keterampilan hidup.
Dari apa yang dipaparkan Hamzah dan Rahman (2002), dijelaskan bahwa mahasiswa terlebih dahulu dilatih dengan keterampilan belajar sesuai dengan anjuran ahli termasuk cara menemukan referensi, berkonsentrasi, membaca, mencatat, dan mengingat. Keterampilan-keterampilan tersebut kemudian dapat dipraktekkan secara mandiri di luar kelas dan jadwal kuliah sehingga memberikan keleluasaan, kenyamanan dan motivasi yang kuat pada diri mahasiswa. Cara-cara tersebut telah mengubah kebiasaan-kebiasaan belajar mahasiswa secara fundamental menjadi lebih baik.
Laporan Legutke dan Thomas (1991) menunjukkan satu contoh pembelajaran yang meliputi penetapan tujuan bersama, membangun prinsip dan nilai bersama, membangun keyakinan dan kemampuan diri siswa, membangun kesepakatan, kebijakan, prosedur dan aturan bersama, dan membangun kemitraan dalam belajar. Proses pembelajaran ini mencerminkan pengakomodasian dan pengelompokan minat peserta belajar dan bagaimana masalah-masalah kehidupan sesungguhnya dihadapi dan dipecahkan. Percobaan yang dilakukan Coleman menunjukkan analogi suasana pembelajaran konvensional dengan budaya masyarakat setempat dan melalui telaah kritis telah diformulasikan agenda budaya baru yang lebih kondusif dalam konteks pembelajaran. Dunia siswa telah dimasuki dan kemudian rekonstruksi (dunia guru) telah ditawarkan.
Akhirnya, strategi-strategi pembelajaran yang telah penulis sendiri kembangkan berkaitan dengan konteks yang menggubah suasana yang menggairahkan, yaitu membangun motivasi, menjalin rasa simpati dan saling pengertian, membangun keriangan dan ketakjuban dan menampilkan keteladanan. Semua strategi tersebut cocok untuk konteks anak-anak termasuk yang berada usia sekolah dasar.
Singkatnya, semua contoh pembelajaran yang penulis paparkan di atas termasuk dalam kategori P2KM yang merupakan Orkestra Belajar-Mengajar Kreatif.

Daftar Rujukan
Coleman, H. (1996). Shadow puppets and language lessons: Interpreting classroom behaviour in its cultural context. In H. Coleman (Ed.), Society and the language classroom (pp. 64-85). Cambridge: Cambridge University Press.
Degeng, N.S. (2007, 9/16). Orkestra Belajar-Mengajar Kreatif, slide perkuliahan Universitas Adi Buana Surabaya.
Hamzah, & Rahman, A. (2002). Peningkatan Kemampuan Mahasiswa untuk Belajar Mandiri pada Mata Kuliah Geografi Melalui Penulisan Jurnal Perkuliahan. Jurnal Ilmu Pendidikan, 9(2), 142-150.
Jazadi, I. (2005). Evaluasi dan Pengembangan Proses Belajar di Perguruan Tinggi. Jurnal Ilmu Pendidikan, 12(1), 1-17.
Legutke, M., & Thomas, H. (1991). Process and experience in the language classroom. London; New York: Longman.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 5 & 6 Februari 2008)

Pembelajaran I2M3


PEMBELAJARAN YANG INTERAKTIF, INSPIRATIF,
MENYENANGKAN, MENANTANG DAN MEMOTIVASI

HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa 

Tulisan ini membahas upaya mewujudkan pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi (I2M3) sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, bahwa:
Proses pembelajaran diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terasa hidup, memotivasi, interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologisnya (Pasal 19, ayat 1).
Sebelum upaya ini dapat dilakukan, penulis melakukan pengamatan tentang kegiatan pembelajaran di sekolah karena diyakini sebelum sebuah kebijakan inovatif dapat diterapkan realitas lapangan harus benar-benar dipertimbangkan. Hasil oberservasi lapangan kemudian penulis bahas menurut paradigma pembelajaran konstruktivistik yang mendasari proses pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi.

Observasi Tentang Kegiatan Pembelajaran di Sekolah
Penulis berkeliling ke beberapa sekolah untuk menyaksikan bagaimana suasana pembelajaran di kelas. Penulis berbicara dengan para guru dan siswa, tentang apa yang mereka alami, pikirkan dan rasakan. Penulis berkunjung ke beberapa rumah tangga di sekitar lingkungan tempat tinggal penulis, berbicara dengan orang tua tentang pendidikan anak-anak mereka. Apa yang penulis peroleh dari proses-proses tersebut? Ternyata, secara umum, penulis menemukan potret yang masih memprihatinkan tentang kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Ada tiga ciri umum yang penulis peroleh, yaitu pembelajaran yang masih berorientasi disiplin kaku, berpusat pada guru, dan kurikulum yang tidak responsif terhadap kondisi siswa. Tentu temuan ini mungkin tidak sepenuhnya mewakili kondisi keseluruhan, tetapi kiranya dapat dijadikan salah satu cara bercermin.
Pertama, pendidikan di sekolah masih dikelola dengan orientasi pada kedisiplinan dan penyeragaman tingkah laku. Siswa masuk harus jam 06.45 tepat. Kalau terlambat, mereka akan mendapat hukuman apapun alasannya. Dalam melaksanakan upacara bendera, siswa tanpa kecuali harus mengikuti upacara tersebut dan harus berbaris sesuai dengan kelasnya masing-masing. Kalau tidak mematuhi peraturan itu, siswa tersebut mendapat hukuman disiplin. Di samping itu, siswa harus berpakaian seragam yang sesuai dengan ketentuan pada hari-hari tertentu. Bila tidak, siswa juga mendapat hukuman fisik maupun teror mental oleh guru.
Kedua, pembelajaran masih sangat nampak keberpusatannya pada guru. Dalam mengikuti pelajaran, siswa diharuskan memperhatikan guru dengan sikap duduk yang sopan dan tenang memperhatikan guru yang menerangkan. Bila siswa berbicara atau kurang memperhatikan guru, maka siswa tersebut biasanya ditegur bahkan tidak jarang yang langsung dibentak. Kebanyakan siswa takut bertanya kalau tidak diberi kesempatan bertanya oleh guru. Kadang-kadang guru mengembalikan pertanyaan suatu pertanyaan dari siswa kepada siswa yang sama sehingga siswa lain sangat takut untuk bertanya karena takut kalau ditanya kembali oleh guru.
Terakhir, kurikulum yang diterapkan masih tidak responsif terhadap kondisi siswa. Siswa yang berbeda-beda harus menuntaskan target kurikulum yang sama dan harus menguasai tujuan instruksional yang sama dari tujuan yang telah ditentukan. Biasanya buku pegangan yang digunakan oleh siswa juga diseragamkan. Siswa umumnya tidak berani menggunakan buku pegangan lain karena khawatir tidak sesuai dan tentu tidak keluar dalam ulangan harian maupun ulangan umum. Dalam melakukan ulangan umum atau ulangan harian, waktu yang digunakan siswa untuk mengerjakan juga disamakan baik untuk siswa yang pandai maupun siswa yang kurang pandai. Nilai dari ulangan siswa hanya menilai pengetahuan (kognitif) saja, karena alat evaluasinya berupa tes. Anak yang nilainya bagus diberi penguatan, sedangkan anak yang nilainya jelek banyak yang dimarahi atau dicaci maki oleh guru, atau direndahkan di depan teman-temannya, sehingga siswa merasa benci dengan pelajaran yang dimaksud.

Pembahasan Masalah
Badai pasti berlalu? Badai pasti berlalu! Badai pasti berlalu. (Degeng,  1997)
Kalau ketiga persoalan yang penulis kemukakan di atas diibaratkan sebagai ”badai”, pertama penulis (dan para guru umumnya) bertanya atau dengan nada ragu menyatakan bisa tidaknya hal itu diatasi. Namun setelah berpikir, sebagai pembaharu penulis bertekad atau dengan lantang bahwa badai itu pasti perlalu (lihat tanda ”!”). Baru setelah mengkaji bahan-bahan tentang paradigma konstrutivistik, penulis (dan kiranya para guru umumnya) meyakini dan menyimpulkan bahwa badai itu pasti berlalu. Pada bagian pembahasan ini, sebelum membahas secara khusus masalah di atas, penulis membahas paradigma I2M3 memasuki era belajar (Degeng, 2007).
Pertama, belajar dianalogikan sebagai air yang mengalir di suatu sungai dengan dinamis, penuh resiko dan menggairahkan. Kesalahan, kreativitas, potensi dan ketakjuban mengisi tempat itu. Dalam analogi ini, penulis memahami bahwa belajar adalah kegiatan alamiah, kegiatan kehidupan, kegiatan yang identik dengan kehidupan itu sendiri. Siswa sebagai pelaku pembelajaran menjalani proses tersebut dengan penuh semangat, gairah, dan dinamika. Mereka bebas berkreasi dan berekspresi sesuai potensi mereka sekalipun kesalahan dan ketakjuban silih berganti mereka temukan dan rasakan dalam proses tersebut. Kesalahan dan kekeliruan merupakan bagian integral dari proses pembelajaran dan karenanya harus diberi ruang pengakuan dan apresiasi.
Kedua, mengajar dianalogikan sebagai pekerjaan ”tukang bersih sungai” agar air dapat mengalir bebas hambatan. Pekerjaan tersebut termasuk mengangkat sampah dan kotoran lain, mengeruk lumpur dan pasir, dan memindahkan batu dan kayu. Guru sebagai tukang bersih sungai tidak mengganggu air dengan segala potensi untuk mengalir. Dalam perspektif ini, guru memfasilitasi siswa dengan meminimalisir segala hal yang bisa menjadi penghambat perkembangan mereka. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas guru dituntut memiliki ketulusan hati, kesetiaan, kemesraan, kesabaran, cinta, sukacita, improvisasi, dan pengendalian diri. Dengan memegang nilai-nilai dan keterampilan tersebut, para guru akan dapat mengemban tugas  bagaimanapun beratnya.
Ketiga, kurikulum dapat diibaratkan sebagai sebuah sungai yang indah diarungi, berliku-liku, banyak jeram dan batu cadas. Segala yang tersembunyi dan terbuka ada di situ dalam ketidakaturan. Dengan demikian, kurikulum tidaklah bermakna sempit sebagai sebuah buku yang disediakan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang disebut Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), tetapi mengacu pada proses-proses pembuatan kebijakan yang relevan yang dilakukan oleh semua pihak pendidikan yang berkepentingan, yang hasilnya dapat berupa dokumen kebijakan seperti GBPP, silabus atau daftar bahan ajar, program pelatihan guru, bahan dan sumber belajar, kegiatan belajar mengajar, dan kegiatan ujian dan evaluasi. Di samping itu, termasuk ke dalam kurikulum juga segala hal yang terjadi atau muncul walau tidak secara khusus direncanakan atau bahkan tidak diinginkan untuk terjadi. Mengingat kompleksitas kurikulum dalam pemaknaan seperti ini, telah diatur dalam PP No. 19 Tahun 2005, Pasal 17, bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan (dasar dan menengah) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik, dengan melibatkan sekolah dan komite sekolah di bawah pembinaan dinas pendidikan kabupaten atau kota. Diharapkan konsepsi baru dapat menjadi rujukan para stakeholder pendidikan dalam berbagai tingkatan.
Dengan demikian, indikator belajar-mengajar-kurikulum dalam perspektif konstruktivisme  adalah terwujudnya “siswa sejahtera”, bahwa aktivitas belajar mereka penuh dengan interaksi yang inspiratif, menyenangkan, menggairahkan, bebas, terbuka, santai, menantang dan penuh ketakjuban.
Terkait dengan deretan masalah yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, dikemukakan beberapa cara penanganan menurut paradigma I2M3 berikut ini. Pertama, terkait kedisiplinan, supaya kreativitas siswa tidak terbunuh karena pembiasaan masuk tepat jam 06.45,  guru perlu meneliti atau menanyakan siswa dengan ramah tentang  penyebab siswa terlambat. Dengan demikian, dalam diri siswa tidak ada rasa takut kalau terlambat karena alasan yang tidak dibuat-buat atau karena situasi sulit yang menyebabkan siswa itu terlambat. Dengan demikian, dalam mengikuti pelajaran pun siswa tidak tertekan atau dibebani perasaan bersalah yang mendorong siswa untuk tetap masuk kelas jika suatu saat terlambat.
Masalah berikutnya, Jika ada siswa yang kebetulan pada suatu hari tidak seragam karena alasan yang tepat, contohnya akan mengikuti lomba PMR, lomba Pramuka, Bola basket atau lomba-lomba yang lain, maka guru perlu menanyakan siswa dengan ramah penyebab ia tidak memakai seragam pada hari itu, kemudian mempersilahkan masuk kelas dengan suasana yang bersahabat. Bila ada siswa yang dalam mengikuti upacara bendera tidak berbaris di kelasnya, maka guru sebaiknya membiarkan saja asalkan siswa tidak ramai dan mengganggu siswa yang lain. Hal itu dimaksudkan agar siswa tidak terbiasa diperlakukan dengan keras tentang kesalahan-kesalahan yang kecil seperti itu dan siswa mengikutinya dengan senang hati. Hal itu juga akan mendorong siswa belajar dengan giat karena dalam diri siswa tidak mengalami tekanan-tekanan.
Kedua, pembelajaran harus berorientasi pada siswa. Bila ada siswa yang tidak memperhatikan ketika guru menerangkan atau siswa berbicara sendiri, maka yang pertama dilakukan oleh guru adalah instrospeksi diri, bagaimana cara penyampaian materinya “apa kurang jelas” atau materi yang disampaikan memang kurang menarik bagi siswa, jadi tidak boleh langsung mengultimatum siswa bahwa siswa tidak menurut dan langsung diberi hukuman. Mestinya seorang guru selalu memberi waktu bagi siswa untuk bertanya dan guru selalu menghargai walaupun pertanyaan siswa kurang baik atau kurang berbobot, sehingga dalam diri siswa timbul semangat untuk selalu bertanya tentang hal-hal yang kurang dimengerti siswa yang akhirnya akan dapat menambah senang suasana belajar di kelas.
Terakhir, terkait kurikulum, sudah semestinya sekolah tidak menyeragamkan buku pegangan bagi siswa, karena suatu materi akan bertambah lengkap jika buku pegangan yang digunakan semakin banyak. Hal itu akan menguntungkan bagi wawasan pendidikan siswa maupun bagi gurunya. Karena ada materi yang esensial yang tidak terdapat di buku yang satu tetapi terdapat di buku yang lainnya.  Lebih dari itu, mestinya soal-soal ulangan anak-anak yang pandai itu dibedakan dengan anak-anak yang kurang pandai baik bobot, jumlah soal maupun alokasi waktunya dan tidak dibandingkan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai. Penilaiannya harus berdasarkan kompetensi yang diraih oleh masing-masing siswa yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotornya, dengan tidak hanya berbasis tes, tetapi juga melalui kegiatan langsung (performance) dan karya (portfolio). Kegiatan pengayaan untuk siswa yang cepat dan kegiatan remedial bagi siswa yang lambat perlu diadakan; penguasaan kompetensi oleh siswa menjadi tujuan yang harus dicapai, walaupun dengan kecepatan masing-masing siswa yang berbeda.
Lebih jauh, ada berbagai cara untuk penerapan pembelajaran I2M3. Yang pertama adalah sistem kredit semester (SKS); ciri-cirinya dipaparkan berikut ini. Siswa diberi keleluasaan untuk memilih mata pelajaran sesuai minatnya. Tidak ada kenaikan kelas; kegiatan remedial dilakukan sepanjang semester bagi siswa yang lamban, sementara bagi siswa cepat diberikan program percepatan belajar atau pengayaan sesuai kebutuhan. Pengelolaan kelas dapat berlangsung secara moving (berpindah-pindah), sementara pengaturan belajar dilakukan secara tatap muka maupun non tatap muka melalui penugasan atau melalui media (Direktorat PMSMA, 2007).
Bentuk lain implementasi dari pembelajaran berbasis peserta didik adalah pembelajaran berbasis multimedia, khususnya melalui internet. Program ini dapat dipadukan dengan sistem kredit semester. Dengan penerapan teknologi informasi ini, siswa dapat belajar di sekolah atau di rumah. Terdapat banyak pilihan bahan, baik yang disiapkan oleh guru dan sekolah, maupun apa yang diperoleh siswa melalui browsing internet terhadap berbagai masalah pelajaran yang diberikan atau ditemukan sendiri oleh siswa. Dalam hal ini, siswa akan belajar sesuai dengan minat dan kecepatannya. Bagi siswa yang lambat dapat diberikan pendampingan remedial, sedangkan bagi siswa yang cepat dapat diberikan pengayaan. Intinya adalah bahwa semua siswa menguasai semua materi ajar yang dipersyaratkan dengan kecepatan masing-masing (Wen, 2003). 
(Terbit di Harian Gaung NTB, 24 & 25 Januari 2008)