Sabtu, 12 Mei 2012

Pembelajaran Positif, Kreatif dan Menyenangkan

PEMBELAJARAN POSITIF, KREATIF 
DAN MENYENANGKAN

HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa


 Setiap guru pasti berharap bisa mewujudkan pembelajaran positif, kreatif dan menyenangkan (P2KM) bagi semua siswanya. Namun, pada kenyataannya, banyak guru yang masih terkungkung oleh pola pikir sentralistik, monolitik dan uniformitas. Dalam kerangka pikir seperti ini, guru mengajar sesuai dengan kebijakan dan kurikulum yang telah ditetapkan dari atas dan keberhasilannya ditentukan melalui pencapaian nilai tinggi dalam ujian yang diselenggarakan secara sentralistik pada akhir masa studi pada satu satuan pendidikan. Kadang-kadang luput dari kesadaran bahwa pembelajaran berorientasi hasil seperti ini umumnya telah mengabaikan proses yang seharusnya membangun semangat, sikap positif dan kreatif dan dilakukan dengan penuh sukacita oleh para siswa.
Sejatinya, seorang guru harus dapat melihat masalah pada tempatnya; yaitu bahwa agenda kurikulum dan ujian nasional tidak boleh mengurangi semangat mereka untuk mewujudkan P2KM apalagi saat ini telah berlaku kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dan ujian hanya berlaku pada beberapa pelajaran dan dilaksanakan pada akhir masa studi saja, tidak setiap semester atau setiap tahun.
Dalam tulisan ini, penulis menyajikan beberapa terobosan P2KM di dalam dan luar negeri, kemudian berdasarkan pengalaman penulis sendiri. Pada bagian akhir, penulis merefleksikan terobosan P2KM sesuai dengan pemaparan Profesor Degeng berjudul “Orkestra belajar-mengajar kreatif untuk menumbuhkan keterampilan hidup” (2007).

P2KM: Tinjauan Pustaka
Banyak pembelajaran kreatif telah dikembangkan dalam rangka mewujudkan pembelajaran positif, kreatif dan menyenangkan), sebagaimana dipaparkan berikut ini (Jazadi, 2005).
Hamzah dan Rahman (2002) menemukan bahwa mahasiswanya di Jurusan Matematika Universitas Negeri Makasar tidak terlibat dalam pembelajaran mendalam, ditunjukkan antara lain oleh ketergantungan mereka hanya pada catatan-catatan kuliah sebagaimana ditulis oleh dosen di papan tulis. Keprihatinan ini menginspirasikan mereka untuk melakukan penelitian aksi dengan memperkenalkan pendekatan belajar baru, yaitu, penulisan jurnal perkuliahan, untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk belajar mandiri pada mata kuliah Geometri yang mereka bina. Mereka mengikuti petunjuk ahli tentang prosedur pendekatan tersebut, seperti orientasi teknik-teknik di awal tahun ajaran, kemudian penyiapan daftar bahan bacaan (buku, jurnal dan makalah) yang dapat diakses oleh mahasiswa secara mandiri, dan lain-lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para mahasiswa mengalami perubahan dalam hal minat, cara dan hasil belajar setelah terbiasa melakukan pendekatan baru tersebut. Tumbuh rasa cinta menulis dalam diri mereka dalam tema-tema Geografi; mereka juga termotivasi mencari sendiri literatur-literatur di luar perkuliahan. Singkatnya, ada perubahan signifikan dari cara belajar yang sebelumnya sekedar untuk memenuhi persyaratan ujian (surface learning) menjadi cara belajar yang didorong secara intrinsik untuk mengkaji pelajaran secara mendalam (deep learning).
Legutke dan Thomas (1991) melaporkan beberapa studi kasus di Eropa tentang pengajaran bahasa asing yang dilakukan berdasarkan project work. Project work adalah kegiatan belajar mengajar yang didasarkan pada tema-tema dan tugas-tugas sehari-hari yang dihasilkan dari kesepakatan bersama dari semua peserta belajar. Proyek pembelajaran bahasa asing tersebut terdiri atas tiga macam: encounter, text, and class correspondence projects. Proyek encounter memungkinkan mahasiswa untuk membuat kontak langsung dengan pembicara asli, misalnya, dengan mewawancarai turis dalam bahasa target di bandara, hotel, perusahaan multinasional, dan pusat wisata. Pembicara asli juga diundang ke sekolah untuk menjadi narasumber. Kedua, proyek “teks” memungkinkan mahasiswa untuk bergumul dengan teks-teks dari kehidupan sehari-hari yang diperoleh dari majalah, koran, berita dan film TV, lagu, puisi, stiker, brosur, manual, dan lain-lain. Terakhir, proyek “korespondensi kelas” merangsang mahasiswa untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar negeri dalam bahasa target melalui surat, cerita foto, dan teks yang memperkaya pemahaman lintas budaya.
Coleman (1996) melihat bahwa budaya ruang kelas di Indonesia adalah ajang tontonan mengajar, teaching spectacles, di mana dosen adalah pemain aktif, sementara mahasiswa adalah penonton pasif. Dia mengamati dalam kegiatan belajar mengajar fenomena mahasiswa datang terlambat, keluar masuk ruangan, tanpa merasa terganggu dengan dosen yang sibuk “pidato” di depan kelas, sebagai hal yang lazim terjadi di Indonesia. Untuk itu, ia kemudian membuat inovasi gaya pembelajaran yang ia sebut dengan learning festival, di mana semua mahasiswa terlibat sebagai pemain atau memiliki peran dalam kegiatan pembelajaran. Dengan gaya pembelajaran seperti itu, Coleman melihat bahwa mahasiswa tidak lagi dibatasi aturan-aturan sosial yang memisahkan diri mereka dengan yang lain dan dengan dosen; semua mahasiswa berdiri, berinteraksi, bergabung, dan berbaur. Efektivitas pembelajaran semacam ini dibantu oleh adanya asisten-asisten dosen atau dosen muda yang membantu kegiatan komunikatif para mahasiswa yang mencapai jumlah seratus dalam satu kelas.

P2KM: Pengalaman Penulis
Salah satu pelajaran yang sangat penting di sekolah adalah pelajaran bahasa Inggris karena bahasa ini sangat diperlukan sebagai alat komunikasi global. Pada kenyataannya, bahasa Inggris masih menjadi momok atau suatu hal yang menakutkan, mata pelajaran yang dibenci, dari anak-anak SD sampai mahasiswa. Untuk membantu meningkatkan partisipasi dan minat siswa terhadap bahasa Inggris, sejak beberapa tahun lalu, bersama suami, saya telah membuka lembaga pendidikan nonformal bahasa Inggris. Segmen pembelajaran yang menjadi tugas saya adalah program bahasa Inggris untuk tingkat anak-anak (setara tingkat sekolah dasar), English for Children. Kami menyiapkan sarana belajar yang memadai seperti LCD, video, televisi, tape recorder, dan fasilitas multimedia lainnya.
Namun, rupanya anak-anak tidak benar-benar termotivasi dalam belajar dengan hanya menonton dan merespon pada bahan-bahan yang disajikan melalui multimedia tersebut. Mereka hanya tertarik jika multimedia digunakan secara berseling dengan teknik-teknik mengajar yang lain. Oleh karena itu, upaya mengembangkan pembelajaran yang positif, kreatif dan menyenangkan (P2KM) pada pelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak tingkat pemula terus kami upayakan.
Karena kondisi di atas, beberapa strategi pembelajaran positif, kreatif dan menyenangkan (P2KM) telah kami kembangkan. Pertama, mengajar tidak hanya menggunakan buku ajar, tetapi juga melalui alat peraga berwarna dan realia seperti berbagai macam buah-buahan, sayur-sayuran, mainan hewan, alat transportasi, pakaian, dan lain-lain. Respon dan partisipasi positif anak-anak sangat kami rasakan. Anak-anak merasa bersemangat dan sangat senang sehingga waktu pun tak terasa berlalu.
Kedua, kami menerapkan pembelajaran berbasis rumah tangga (karena ruang belajar merupakan bagian dari rumah). Siswa mempelajari kosakata dan kalimat sederhana terkait tema rumah dan pekarangannya secara langsung dengan mengekplorasi seluruh bagian-bagian rumah termasuk ruangannya, ciri dan isi masing-masing ruang, mulai ruang tamu sampai dapur dan kamar mandi, termasuk mengeksplorasi nama-nama peralatan di dapur, di kulkas, dan lain-lain. Semua dilakukan berbasis rumah tangga, artinya memanfaatkan sebagian besar isi rumah sebagai alat bantu pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran terasa hidup dan benar-benar sesuai kondisi sesungguhnya kehidupan sehari-hari. Siswa sangat merasakan manfaat belajar. Mereka juga diberi tugas untuk mengidentifikasi semua peralatan dan barang yang ada di rumah masing-masing untuk memastikan bahwa bahasa Inggris mereka ada juga di rumah.
Strategi ketiga berkaitan dengan lokasi belajar; belajar tidak hanya dilakukan di dalam kelas (indoor), tetapi juga di luar kelas (outdoor). Dalam hal ini, kami mengajak siswa untuk berwisata ke pantai sambil belajar di alam terbuka. Mereka mengidentifikasi benda-benda di sekelilingnya, kemudian mengingat dan menuliskannya di buku catatan mereka dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Untuk menguji memori, pelajaran tentang keadaan di pantai juga dibahas di kelas pada pertemuan selanjutnya.
Stategi keempat adalah menghadirkan tamu dari mancanegara sekali dalam setahun atau per triwulan. Kebetulan beberapa petugas hotel memiliki hubungan persahabatan dengan kami sehingga bersedia mengajak tamu yang tertarik untuk berkunjung ke kelas kami. Ini bertujuan agar siswa bisa melihat atau berinteraksi secara langsung dengan orang luar, merasa mampu mempraktikkan ilmu yang pernah diperoleh, dan berbagi pengalaman dalam bahasa Inggris. Strategi terakhir adalah menyediakan perpustakaan mini, sederhana tetapi menambah wawasan siswa; buku bisa diperpinjamkan untuk dibawa pulang. Ini sebagai salah satu sarana untuk membantu siswa, terutama yang kurang mampu untuk membeli buku. Karena tidak cukup wawasan hanya melalui atau membawa diktat wajib yang disediakan pengelola.
Melalui strategi dan teknik di atas, anak-anak tampak selalu berusaha menguasai kompetensi yang dipersyaratkan dengan penuh semangat.

Refleksi dan Kesimpulan
Contoh-contoh pembelajaran kreatif baik yang disampaikan di atas menunjukkan bahwa indikator keberhasilan belajar-mengajar adalah “anak sejahtera”, yaitu bahwa aktivitas belajar mereka menyenangkan dan menggairahkan. Para siswa atau mahasiswa dalam contoh-contoh tersebut diberi kebebasan untuk belajar secara santai, diberi bekal untuk belajar di luar kelas sehingga dapat menemukan ketakjuban-ketakjuban melalui pencarian mereka sendiri.
Para guru dan dosen dalam contoh tersebut telah taat azas dengan memasuki dunia peserta belajar, membawa dunia siswa ke dalam dunia mereka sebagai guru dan mengantar dunia mereka sebagai guru ke dalam dunia siswa. Masing-masing mereka telah melihat kenyataan betapa kondisi pembelajaran konvensional (tanpa upaya kreatif) seperti yang sebelumnya terjadi tidak memiliki dampak pembelajaran pada siswa atau mahasiswa. Yang tampak tak lebih bahwa peserta belajar tersebut mengikuti program belajar, tidak semata-mata belajar, dan akhirnya dinyatakan tamat belajar dengan indikator kelulusan hasil ujian yang nota bene tidak merefleksikan keterampilan hidup. Pendidik-pendidik tersebut berhasil mengubah suasana pembelajaran menjadi dinamis dan menyenangkan, termasuk mencapai hasil belajar yang terukur sebagai keterampilan hidup.
Dari apa yang dipaparkan Hamzah dan Rahman (2002), dijelaskan bahwa mahasiswa terlebih dahulu dilatih dengan keterampilan belajar sesuai dengan anjuran ahli termasuk cara menemukan referensi, berkonsentrasi, membaca, mencatat, dan mengingat. Keterampilan-keterampilan tersebut kemudian dapat dipraktekkan secara mandiri di luar kelas dan jadwal kuliah sehingga memberikan keleluasaan, kenyamanan dan motivasi yang kuat pada diri mahasiswa. Cara-cara tersebut telah mengubah kebiasaan-kebiasaan belajar mahasiswa secara fundamental menjadi lebih baik.
Laporan Legutke dan Thomas (1991) menunjukkan satu contoh pembelajaran yang meliputi penetapan tujuan bersama, membangun prinsip dan nilai bersama, membangun keyakinan dan kemampuan diri siswa, membangun kesepakatan, kebijakan, prosedur dan aturan bersama, dan membangun kemitraan dalam belajar. Proses pembelajaran ini mencerminkan pengakomodasian dan pengelompokan minat peserta belajar dan bagaimana masalah-masalah kehidupan sesungguhnya dihadapi dan dipecahkan. Percobaan yang dilakukan Coleman menunjukkan analogi suasana pembelajaran konvensional dengan budaya masyarakat setempat dan melalui telaah kritis telah diformulasikan agenda budaya baru yang lebih kondusif dalam konteks pembelajaran. Dunia siswa telah dimasuki dan kemudian rekonstruksi (dunia guru) telah ditawarkan.
Akhirnya, strategi-strategi pembelajaran yang telah penulis sendiri kembangkan berkaitan dengan konteks yang menggubah suasana yang menggairahkan, yaitu membangun motivasi, menjalin rasa simpati dan saling pengertian, membangun keriangan dan ketakjuban dan menampilkan keteladanan. Semua strategi tersebut cocok untuk konteks anak-anak termasuk yang berada usia sekolah dasar.
Singkatnya, semua contoh pembelajaran yang penulis paparkan di atas termasuk dalam kategori P2KM yang merupakan Orkestra Belajar-Mengajar Kreatif.

Daftar Rujukan
Coleman, H. (1996). Shadow puppets and language lessons: Interpreting classroom behaviour in its cultural context. In H. Coleman (Ed.), Society and the language classroom (pp. 64-85). Cambridge: Cambridge University Press.
Degeng, N.S. (2007, 9/16). Orkestra Belajar-Mengajar Kreatif, slide perkuliahan Universitas Adi Buana Surabaya.
Hamzah, & Rahman, A. (2002). Peningkatan Kemampuan Mahasiswa untuk Belajar Mandiri pada Mata Kuliah Geografi Melalui Penulisan Jurnal Perkuliahan. Jurnal Ilmu Pendidikan, 9(2), 142-150.
Jazadi, I. (2005). Evaluasi dan Pengembangan Proses Belajar di Perguruan Tinggi. Jurnal Ilmu Pendidikan, 12(1), 1-17.
Legutke, M., & Thomas, H. (1991). Process and experience in the language classroom. London; New York: Longman.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 5 & 6 Februari 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar