Sabtu, 12 Mei 2012

Pembelajaran I2M3


PEMBELAJARAN YANG INTERAKTIF, INSPIRATIF,
MENYENANGKAN, MENANTANG DAN MEMOTIVASI

HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa 

Tulisan ini membahas upaya mewujudkan pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi (I2M3) sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, bahwa:
Proses pembelajaran diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terasa hidup, memotivasi, interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologisnya (Pasal 19, ayat 1).
Sebelum upaya ini dapat dilakukan, penulis melakukan pengamatan tentang kegiatan pembelajaran di sekolah karena diyakini sebelum sebuah kebijakan inovatif dapat diterapkan realitas lapangan harus benar-benar dipertimbangkan. Hasil oberservasi lapangan kemudian penulis bahas menurut paradigma pembelajaran konstruktivistik yang mendasari proses pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi.

Observasi Tentang Kegiatan Pembelajaran di Sekolah
Penulis berkeliling ke beberapa sekolah untuk menyaksikan bagaimana suasana pembelajaran di kelas. Penulis berbicara dengan para guru dan siswa, tentang apa yang mereka alami, pikirkan dan rasakan. Penulis berkunjung ke beberapa rumah tangga di sekitar lingkungan tempat tinggal penulis, berbicara dengan orang tua tentang pendidikan anak-anak mereka. Apa yang penulis peroleh dari proses-proses tersebut? Ternyata, secara umum, penulis menemukan potret yang masih memprihatinkan tentang kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Ada tiga ciri umum yang penulis peroleh, yaitu pembelajaran yang masih berorientasi disiplin kaku, berpusat pada guru, dan kurikulum yang tidak responsif terhadap kondisi siswa. Tentu temuan ini mungkin tidak sepenuhnya mewakili kondisi keseluruhan, tetapi kiranya dapat dijadikan salah satu cara bercermin.
Pertama, pendidikan di sekolah masih dikelola dengan orientasi pada kedisiplinan dan penyeragaman tingkah laku. Siswa masuk harus jam 06.45 tepat. Kalau terlambat, mereka akan mendapat hukuman apapun alasannya. Dalam melaksanakan upacara bendera, siswa tanpa kecuali harus mengikuti upacara tersebut dan harus berbaris sesuai dengan kelasnya masing-masing. Kalau tidak mematuhi peraturan itu, siswa tersebut mendapat hukuman disiplin. Di samping itu, siswa harus berpakaian seragam yang sesuai dengan ketentuan pada hari-hari tertentu. Bila tidak, siswa juga mendapat hukuman fisik maupun teror mental oleh guru.
Kedua, pembelajaran masih sangat nampak keberpusatannya pada guru. Dalam mengikuti pelajaran, siswa diharuskan memperhatikan guru dengan sikap duduk yang sopan dan tenang memperhatikan guru yang menerangkan. Bila siswa berbicara atau kurang memperhatikan guru, maka siswa tersebut biasanya ditegur bahkan tidak jarang yang langsung dibentak. Kebanyakan siswa takut bertanya kalau tidak diberi kesempatan bertanya oleh guru. Kadang-kadang guru mengembalikan pertanyaan suatu pertanyaan dari siswa kepada siswa yang sama sehingga siswa lain sangat takut untuk bertanya karena takut kalau ditanya kembali oleh guru.
Terakhir, kurikulum yang diterapkan masih tidak responsif terhadap kondisi siswa. Siswa yang berbeda-beda harus menuntaskan target kurikulum yang sama dan harus menguasai tujuan instruksional yang sama dari tujuan yang telah ditentukan. Biasanya buku pegangan yang digunakan oleh siswa juga diseragamkan. Siswa umumnya tidak berani menggunakan buku pegangan lain karena khawatir tidak sesuai dan tentu tidak keluar dalam ulangan harian maupun ulangan umum. Dalam melakukan ulangan umum atau ulangan harian, waktu yang digunakan siswa untuk mengerjakan juga disamakan baik untuk siswa yang pandai maupun siswa yang kurang pandai. Nilai dari ulangan siswa hanya menilai pengetahuan (kognitif) saja, karena alat evaluasinya berupa tes. Anak yang nilainya bagus diberi penguatan, sedangkan anak yang nilainya jelek banyak yang dimarahi atau dicaci maki oleh guru, atau direndahkan di depan teman-temannya, sehingga siswa merasa benci dengan pelajaran yang dimaksud.

Pembahasan Masalah
Badai pasti berlalu? Badai pasti berlalu! Badai pasti berlalu. (Degeng,  1997)
Kalau ketiga persoalan yang penulis kemukakan di atas diibaratkan sebagai ”badai”, pertama penulis (dan para guru umumnya) bertanya atau dengan nada ragu menyatakan bisa tidaknya hal itu diatasi. Namun setelah berpikir, sebagai pembaharu penulis bertekad atau dengan lantang bahwa badai itu pasti perlalu (lihat tanda ”!”). Baru setelah mengkaji bahan-bahan tentang paradigma konstrutivistik, penulis (dan kiranya para guru umumnya) meyakini dan menyimpulkan bahwa badai itu pasti berlalu. Pada bagian pembahasan ini, sebelum membahas secara khusus masalah di atas, penulis membahas paradigma I2M3 memasuki era belajar (Degeng, 2007).
Pertama, belajar dianalogikan sebagai air yang mengalir di suatu sungai dengan dinamis, penuh resiko dan menggairahkan. Kesalahan, kreativitas, potensi dan ketakjuban mengisi tempat itu. Dalam analogi ini, penulis memahami bahwa belajar adalah kegiatan alamiah, kegiatan kehidupan, kegiatan yang identik dengan kehidupan itu sendiri. Siswa sebagai pelaku pembelajaran menjalani proses tersebut dengan penuh semangat, gairah, dan dinamika. Mereka bebas berkreasi dan berekspresi sesuai potensi mereka sekalipun kesalahan dan ketakjuban silih berganti mereka temukan dan rasakan dalam proses tersebut. Kesalahan dan kekeliruan merupakan bagian integral dari proses pembelajaran dan karenanya harus diberi ruang pengakuan dan apresiasi.
Kedua, mengajar dianalogikan sebagai pekerjaan ”tukang bersih sungai” agar air dapat mengalir bebas hambatan. Pekerjaan tersebut termasuk mengangkat sampah dan kotoran lain, mengeruk lumpur dan pasir, dan memindahkan batu dan kayu. Guru sebagai tukang bersih sungai tidak mengganggu air dengan segala potensi untuk mengalir. Dalam perspektif ini, guru memfasilitasi siswa dengan meminimalisir segala hal yang bisa menjadi penghambat perkembangan mereka. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas guru dituntut memiliki ketulusan hati, kesetiaan, kemesraan, kesabaran, cinta, sukacita, improvisasi, dan pengendalian diri. Dengan memegang nilai-nilai dan keterampilan tersebut, para guru akan dapat mengemban tugas  bagaimanapun beratnya.
Ketiga, kurikulum dapat diibaratkan sebagai sebuah sungai yang indah diarungi, berliku-liku, banyak jeram dan batu cadas. Segala yang tersembunyi dan terbuka ada di situ dalam ketidakaturan. Dengan demikian, kurikulum tidaklah bermakna sempit sebagai sebuah buku yang disediakan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang disebut Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), tetapi mengacu pada proses-proses pembuatan kebijakan yang relevan yang dilakukan oleh semua pihak pendidikan yang berkepentingan, yang hasilnya dapat berupa dokumen kebijakan seperti GBPP, silabus atau daftar bahan ajar, program pelatihan guru, bahan dan sumber belajar, kegiatan belajar mengajar, dan kegiatan ujian dan evaluasi. Di samping itu, termasuk ke dalam kurikulum juga segala hal yang terjadi atau muncul walau tidak secara khusus direncanakan atau bahkan tidak diinginkan untuk terjadi. Mengingat kompleksitas kurikulum dalam pemaknaan seperti ini, telah diatur dalam PP No. 19 Tahun 2005, Pasal 17, bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan (dasar dan menengah) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik, dengan melibatkan sekolah dan komite sekolah di bawah pembinaan dinas pendidikan kabupaten atau kota. Diharapkan konsepsi baru dapat menjadi rujukan para stakeholder pendidikan dalam berbagai tingkatan.
Dengan demikian, indikator belajar-mengajar-kurikulum dalam perspektif konstruktivisme  adalah terwujudnya “siswa sejahtera”, bahwa aktivitas belajar mereka penuh dengan interaksi yang inspiratif, menyenangkan, menggairahkan, bebas, terbuka, santai, menantang dan penuh ketakjuban.
Terkait dengan deretan masalah yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, dikemukakan beberapa cara penanganan menurut paradigma I2M3 berikut ini. Pertama, terkait kedisiplinan, supaya kreativitas siswa tidak terbunuh karena pembiasaan masuk tepat jam 06.45,  guru perlu meneliti atau menanyakan siswa dengan ramah tentang  penyebab siswa terlambat. Dengan demikian, dalam diri siswa tidak ada rasa takut kalau terlambat karena alasan yang tidak dibuat-buat atau karena situasi sulit yang menyebabkan siswa itu terlambat. Dengan demikian, dalam mengikuti pelajaran pun siswa tidak tertekan atau dibebani perasaan bersalah yang mendorong siswa untuk tetap masuk kelas jika suatu saat terlambat.
Masalah berikutnya, Jika ada siswa yang kebetulan pada suatu hari tidak seragam karena alasan yang tepat, contohnya akan mengikuti lomba PMR, lomba Pramuka, Bola basket atau lomba-lomba yang lain, maka guru perlu menanyakan siswa dengan ramah penyebab ia tidak memakai seragam pada hari itu, kemudian mempersilahkan masuk kelas dengan suasana yang bersahabat. Bila ada siswa yang dalam mengikuti upacara bendera tidak berbaris di kelasnya, maka guru sebaiknya membiarkan saja asalkan siswa tidak ramai dan mengganggu siswa yang lain. Hal itu dimaksudkan agar siswa tidak terbiasa diperlakukan dengan keras tentang kesalahan-kesalahan yang kecil seperti itu dan siswa mengikutinya dengan senang hati. Hal itu juga akan mendorong siswa belajar dengan giat karena dalam diri siswa tidak mengalami tekanan-tekanan.
Kedua, pembelajaran harus berorientasi pada siswa. Bila ada siswa yang tidak memperhatikan ketika guru menerangkan atau siswa berbicara sendiri, maka yang pertama dilakukan oleh guru adalah instrospeksi diri, bagaimana cara penyampaian materinya “apa kurang jelas” atau materi yang disampaikan memang kurang menarik bagi siswa, jadi tidak boleh langsung mengultimatum siswa bahwa siswa tidak menurut dan langsung diberi hukuman. Mestinya seorang guru selalu memberi waktu bagi siswa untuk bertanya dan guru selalu menghargai walaupun pertanyaan siswa kurang baik atau kurang berbobot, sehingga dalam diri siswa timbul semangat untuk selalu bertanya tentang hal-hal yang kurang dimengerti siswa yang akhirnya akan dapat menambah senang suasana belajar di kelas.
Terakhir, terkait kurikulum, sudah semestinya sekolah tidak menyeragamkan buku pegangan bagi siswa, karena suatu materi akan bertambah lengkap jika buku pegangan yang digunakan semakin banyak. Hal itu akan menguntungkan bagi wawasan pendidikan siswa maupun bagi gurunya. Karena ada materi yang esensial yang tidak terdapat di buku yang satu tetapi terdapat di buku yang lainnya.  Lebih dari itu, mestinya soal-soal ulangan anak-anak yang pandai itu dibedakan dengan anak-anak yang kurang pandai baik bobot, jumlah soal maupun alokasi waktunya dan tidak dibandingkan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai. Penilaiannya harus berdasarkan kompetensi yang diraih oleh masing-masing siswa yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotornya, dengan tidak hanya berbasis tes, tetapi juga melalui kegiatan langsung (performance) dan karya (portfolio). Kegiatan pengayaan untuk siswa yang cepat dan kegiatan remedial bagi siswa yang lambat perlu diadakan; penguasaan kompetensi oleh siswa menjadi tujuan yang harus dicapai, walaupun dengan kecepatan masing-masing siswa yang berbeda.
Lebih jauh, ada berbagai cara untuk penerapan pembelajaran I2M3. Yang pertama adalah sistem kredit semester (SKS); ciri-cirinya dipaparkan berikut ini. Siswa diberi keleluasaan untuk memilih mata pelajaran sesuai minatnya. Tidak ada kenaikan kelas; kegiatan remedial dilakukan sepanjang semester bagi siswa yang lamban, sementara bagi siswa cepat diberikan program percepatan belajar atau pengayaan sesuai kebutuhan. Pengelolaan kelas dapat berlangsung secara moving (berpindah-pindah), sementara pengaturan belajar dilakukan secara tatap muka maupun non tatap muka melalui penugasan atau melalui media (Direktorat PMSMA, 2007).
Bentuk lain implementasi dari pembelajaran berbasis peserta didik adalah pembelajaran berbasis multimedia, khususnya melalui internet. Program ini dapat dipadukan dengan sistem kredit semester. Dengan penerapan teknologi informasi ini, siswa dapat belajar di sekolah atau di rumah. Terdapat banyak pilihan bahan, baik yang disiapkan oleh guru dan sekolah, maupun apa yang diperoleh siswa melalui browsing internet terhadap berbagai masalah pelajaran yang diberikan atau ditemukan sendiri oleh siswa. Dalam hal ini, siswa akan belajar sesuai dengan minat dan kecepatannya. Bagi siswa yang lambat dapat diberikan pendampingan remedial, sedangkan bagi siswa yang cepat dapat diberikan pengayaan. Intinya adalah bahwa semua siswa menguasai semua materi ajar yang dipersyaratkan dengan kecepatan masing-masing (Wen, 2003). 
(Terbit di Harian Gaung NTB, 24 & 25 Januari 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar