PEMBELAJARAN YANG INTERAKTIF, INSPIRATIF,
MENYENANGKAN, MENANTANG DAN MEMOTIVASI
HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Tulisan ini membahas upaya mewujudkan
pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan
memotivasi (I2M3) sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, bahwa:
Proses
pembelajaran diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terasa hidup, memotivasi,
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memberikan ruang yang cukup
bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian peserta didik sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologisnya (Pasal 19, ayat 1).
Sebelum upaya ini dapat dilakukan, penulis
melakukan pengamatan tentang kegiatan pembelajaran di sekolah karena diyakini
sebelum sebuah kebijakan inovatif dapat diterapkan realitas lapangan harus
benar-benar dipertimbangkan. Hasil oberservasi lapangan kemudian penulis bahas
menurut paradigma pembelajaran konstruktivistik yang mendasari proses pembelajaran
yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi.
Observasi Tentang Kegiatan Pembelajaran di Sekolah
Penulis berkeliling ke beberapa sekolah untuk
menyaksikan bagaimana suasana pembelajaran di kelas. Penulis berbicara dengan
para guru dan siswa, tentang apa yang mereka alami, pikirkan dan rasakan. Penulis
berkunjung ke beberapa rumah tangga di sekitar lingkungan tempat tinggal penulis,
berbicara dengan orang tua tentang pendidikan anak-anak mereka. Apa yang penulis
peroleh dari proses-proses tersebut? Ternyata, secara umum, penulis menemukan
potret yang masih memprihatinkan tentang kondisi pembelajaran di
sekolah-sekolah kita. Ada tiga ciri umum yang penulis peroleh, yaitu
pembelajaran yang masih berorientasi disiplin kaku, berpusat pada guru, dan
kurikulum yang tidak responsif terhadap kondisi siswa. Tentu temuan ini mungkin
tidak sepenuhnya mewakili kondisi keseluruhan, tetapi kiranya dapat dijadikan
salah satu cara bercermin.
Pertama, pendidikan di
sekolah masih dikelola dengan orientasi pada kedisiplinan dan penyeragaman
tingkah laku. Siswa masuk harus jam 06.45 tepat. Kalau terlambat, mereka akan
mendapat hukuman apapun alasannya. Dalam melaksanakan upacara bendera, siswa
tanpa kecuali harus mengikuti upacara tersebut dan harus berbaris sesuai dengan
kelasnya masing-masing. Kalau tidak mematuhi peraturan itu, siswa tersebut
mendapat hukuman disiplin. Di samping itu, siswa harus berpakaian seragam yang
sesuai dengan ketentuan pada hari-hari tertentu. Bila tidak, siswa juga
mendapat hukuman fisik maupun teror mental oleh guru.
Kedua, pembelajaran masih
sangat nampak keberpusatannya pada guru. Dalam mengikuti pelajaran, siswa
diharuskan memperhatikan guru dengan sikap duduk yang sopan dan tenang memperhatikan
guru yang menerangkan. Bila siswa berbicara atau kurang memperhatikan guru,
maka siswa tersebut biasanya ditegur bahkan tidak jarang yang langsung dibentak.
Kebanyakan siswa takut bertanya kalau tidak diberi kesempatan bertanya oleh
guru. Kadang-kadang guru mengembalikan pertanyaan suatu pertanyaan dari siswa kepada
siswa yang sama sehingga siswa lain sangat takut untuk bertanya karena takut
kalau ditanya kembali oleh guru.
Terakhir,
kurikulum yang diterapkan masih tidak responsif terhadap kondisi siswa. Siswa
yang berbeda-beda harus menuntaskan target kurikulum yang sama dan harus
menguasai tujuan instruksional yang sama dari tujuan yang telah ditentukan.
Biasanya buku pegangan yang digunakan oleh siswa juga diseragamkan. Siswa
umumnya tidak berani menggunakan buku pegangan lain karena khawatir tidak
sesuai dan tentu tidak keluar dalam ulangan harian maupun ulangan umum. Dalam
melakukan ulangan umum atau ulangan harian, waktu yang digunakan siswa untuk
mengerjakan juga disamakan baik untuk siswa yang pandai maupun siswa yang
kurang pandai. Nilai dari ulangan siswa hanya menilai pengetahuan (kognitif)
saja, karena alat evaluasinya berupa tes. Anak yang nilainya bagus diberi penguatan,
sedangkan anak yang nilainya jelek banyak yang dimarahi atau dicaci maki oleh
guru, atau direndahkan di depan teman-temannya, sehingga siswa merasa benci
dengan pelajaran yang dimaksud.
Pembahasan
Masalah
Badai
pasti berlalu? Badai pasti berlalu! Badai pasti berlalu.
(Degeng, 1997)
Kalau ketiga persoalan yang
penulis kemukakan di atas diibaratkan sebagai ”badai”, pertama penulis (dan
para guru umumnya) bertanya atau dengan nada ragu menyatakan bisa tidaknya hal
itu diatasi. Namun setelah berpikir, sebagai pembaharu penulis bertekad atau
dengan lantang bahwa badai itu pasti perlalu (lihat tanda ”!”). Baru setelah
mengkaji bahan-bahan tentang paradigma konstrutivistik, penulis (dan kiranya
para guru umumnya) meyakini dan menyimpulkan bahwa badai itu pasti berlalu.
Pada bagian pembahasan ini, sebelum membahas secara khusus masalah di atas,
penulis membahas paradigma I2M3 memasuki era belajar (Degeng, 2007).
Pertama, belajar
dianalogikan sebagai air yang mengalir di suatu sungai dengan dinamis, penuh
resiko dan menggairahkan. Kesalahan, kreativitas, potensi dan ketakjuban
mengisi tempat itu. Dalam analogi ini, penulis memahami bahwa belajar adalah
kegiatan alamiah, kegiatan kehidupan, kegiatan yang identik dengan kehidupan
itu sendiri. Siswa sebagai pelaku pembelajaran menjalani proses tersebut dengan
penuh semangat, gairah, dan dinamika. Mereka bebas berkreasi dan berekspresi sesuai
potensi mereka sekalipun kesalahan dan ketakjuban silih berganti mereka temukan
dan rasakan dalam proses tersebut. Kesalahan dan kekeliruan merupakan bagian
integral dari proses pembelajaran dan karenanya harus diberi ruang pengakuan
dan apresiasi.
Kedua, mengajar
dianalogikan sebagai pekerjaan ”tukang bersih sungai” agar air dapat mengalir
bebas hambatan. Pekerjaan tersebut termasuk mengangkat sampah dan kotoran lain,
mengeruk lumpur dan pasir, dan memindahkan batu dan kayu. Guru sebagai tukang
bersih sungai tidak mengganggu air dengan segala potensi untuk mengalir. Dalam
perspektif ini, guru memfasilitasi siswa dengan meminimalisir segala hal yang
bisa menjadi penghambat perkembangan mereka. Oleh karena itu, dalam menjalankan
tugas guru dituntut memiliki ketulusan hati, kesetiaan, kemesraan, kesabaran,
cinta, sukacita, improvisasi, dan pengendalian diri. Dengan memegang
nilai-nilai dan keterampilan tersebut, para guru akan dapat mengemban tugas bagaimanapun beratnya.
Ketiga,
kurikulum dapat diibaratkan sebagai sebuah sungai yang indah diarungi,
berliku-liku, banyak jeram dan batu cadas. Segala yang tersembunyi dan terbuka
ada di situ dalam ketidakaturan. Dengan demikian, kurikulum tidaklah bermakna sempit sebagai sebuah buku yang
disediakan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang disebut Garis-Garis Besar Program Pengajaran
(GBPP), tetapi mengacu pada proses-proses pembuatan kebijakan yang relevan yang
dilakukan oleh semua pihak pendidikan yang berkepentingan, yang hasilnya dapat
berupa dokumen kebijakan seperti GBPP, silabus atau daftar bahan ajar, program
pelatihan guru, bahan dan sumber belajar, kegiatan belajar mengajar, dan
kegiatan ujian dan evaluasi. Di samping itu, termasuk ke dalam kurikulum juga
segala hal yang terjadi atau muncul walau tidak secara khusus direncanakan atau
bahkan tidak diinginkan untuk terjadi. Mengingat kompleksitas kurikulum dalam
pemaknaan seperti ini, telah diatur dalam PP No. 19 Tahun 2005, Pasal 17, bahwa
kurikulum tingkat satuan pendidikan (dasar dan menengah) dikembangkan sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah, karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat
setempat, dan peserta didik, dengan melibatkan sekolah dan komite sekolah di
bawah pembinaan dinas pendidikan kabupaten atau kota. Diharapkan konsepsi baru
dapat menjadi rujukan para stakeholder
pendidikan dalam berbagai tingkatan.
Dengan demikian, indikator belajar-mengajar-kurikulum
dalam perspektif konstruktivisme adalah
terwujudnya “siswa sejahtera”, bahwa aktivitas belajar mereka penuh dengan
interaksi yang inspiratif, menyenangkan, menggairahkan, bebas, terbuka, santai,
menantang dan penuh ketakjuban.
Terkait dengan deretan masalah yang dipaparkan pada
bagian sebelumnya, dikemukakan beberapa cara penanganan menurut paradigma I2M3
berikut ini. Pertama, terkait kedisiplinan, supaya kreativitas siswa
tidak terbunuh karena pembiasaan masuk tepat jam 06.45, guru perlu
meneliti atau menanyakan siswa dengan ramah tentang penyebab siswa
terlambat. Dengan demikian, dalam diri siswa tidak ada rasa takut kalau
terlambat karena alasan yang tidak dibuat-buat atau karena situasi sulit yang menyebabkan
siswa itu terlambat. Dengan demikian, dalam mengikuti pelajaran pun siswa tidak
tertekan atau dibebani perasaan bersalah yang mendorong siswa untuk tetap masuk
kelas jika suatu saat terlambat.
Masalah
berikutnya, Jika ada siswa yang kebetulan pada suatu hari tidak seragam karena
alasan yang tepat, contohnya akan mengikuti lomba PMR, lomba Pramuka, Bola
basket atau lomba-lomba yang lain, maka guru perlu menanyakan siswa dengan
ramah penyebab ia tidak memakai seragam pada hari itu, kemudian mempersilahkan
masuk kelas dengan suasana yang bersahabat. Bila ada siswa yang dalam mengikuti
upacara bendera tidak berbaris di kelasnya, maka guru sebaiknya membiarkan saja
asalkan siswa tidak ramai dan mengganggu siswa yang lain. Hal itu dimaksudkan
agar siswa tidak terbiasa diperlakukan dengan keras tentang kesalahan-kesalahan
yang kecil seperti itu dan siswa mengikutinya dengan senang hati. Hal itu juga
akan mendorong siswa belajar dengan giat karena dalam diri siswa tidak
mengalami tekanan-tekanan.
Kedua, pembelajaran harus berorientasi pada siswa. Bila
ada siswa yang tidak memperhatikan ketika guru menerangkan atau siswa berbicara
sendiri, maka yang pertama dilakukan oleh guru adalah instrospeksi diri,
bagaimana cara penyampaian materinya “apa kurang jelas” atau materi yang
disampaikan memang kurang menarik bagi siswa, jadi tidak boleh langsung
mengultimatum siswa bahwa siswa tidak menurut dan langsung diberi hukuman. Mestinya
seorang guru selalu memberi waktu bagi siswa untuk bertanya dan guru selalu
menghargai walaupun pertanyaan siswa kurang baik atau kurang berbobot, sehingga
dalam diri siswa timbul semangat untuk selalu bertanya tentang hal-hal yang
kurang dimengerti siswa yang akhirnya akan dapat menambah senang suasana
belajar di kelas.
Terakhir, terkait kurikulum, sudah semestinya sekolah
tidak menyeragamkan buku pegangan bagi siswa, karena suatu materi akan
bertambah lengkap jika buku pegangan yang digunakan semakin banyak. Hal itu
akan menguntungkan bagi wawasan pendidikan siswa maupun bagi gurunya. Karena ada
materi yang esensial yang tidak terdapat di buku yang satu tetapi terdapat di
buku yang lainnya. Lebih dari itu, mestinya
soal-soal ulangan anak-anak yang pandai itu dibedakan dengan anak-anak yang
kurang pandai baik bobot, jumlah soal maupun alokasi waktunya dan tidak
dibandingkan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai. Penilaiannya
harus berdasarkan kompetensi yang diraih oleh masing-masing siswa yang meliputi
kognitif, afektif dan psikomotornya, dengan tidak hanya berbasis tes, tetapi
juga melalui kegiatan langsung (performance)
dan karya (portfolio). Kegiatan
pengayaan untuk siswa yang cepat dan kegiatan remedial bagi siswa yang lambat perlu
diadakan; penguasaan kompetensi oleh siswa menjadi tujuan yang harus dicapai,
walaupun dengan kecepatan masing-masing siswa yang berbeda.
Lebih jauh, ada berbagai cara untuk penerapan pembelajaran I2M3. Yang
pertama adalah sistem kredit semester (SKS); ciri-cirinya dipaparkan berikut
ini. Siswa diberi keleluasaan untuk memilih mata pelajaran sesuai minatnya.
Tidak ada kenaikan kelas; kegiatan remedial dilakukan sepanjang semester bagi
siswa yang lamban, sementara bagi siswa cepat diberikan program percepatan
belajar atau pengayaan sesuai kebutuhan. Pengelolaan kelas dapat berlangsung
secara moving (berpindah-pindah),
sementara pengaturan belajar dilakukan secara tatap muka maupun non tatap muka
melalui penugasan atau melalui media (Direktorat PMSMA, 2007).
Bentuk lain implementasi dari pembelajaran berbasis peserta didik adalah
pembelajaran berbasis multimedia, khususnya melalui internet. Program ini dapat
dipadukan dengan sistem kredit semester. Dengan penerapan teknologi informasi
ini, siswa dapat belajar di sekolah atau di rumah. Terdapat banyak pilihan
bahan, baik yang disiapkan oleh guru dan sekolah, maupun apa yang diperoleh
siswa melalui browsing internet
terhadap berbagai masalah pelajaran yang diberikan atau ditemukan sendiri oleh
siswa. Dalam hal ini, siswa akan belajar sesuai dengan minat dan kecepatannya.
Bagi siswa yang lambat dapat diberikan pendampingan remedial, sedangkan bagi
siswa yang cepat dapat diberikan pengayaan. Intinya adalah bahwa semua siswa
menguasai semua materi ajar yang dipersyaratkan dengan kecepatan masing-masing
(Wen, 2003).
(Terbit di Harian Gaung NTB, 24 & 25 Januari 2008)
(Terbit di Harian Gaung NTB, 24 & 25 Januari 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar