PARADIGMA PEMBELAJARAN:
BEHAVIORISTIK VS.
KONSTRUKTIVISTIK DAN IMPLIKASINYA
HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Pendidikan di Indonesia selama
berpuluh-puluh tahun sejak kemerdekaan masih memiliki ciri-ciri yang sangat
behavioristik. Namun
demikian, sejak bergulirnya reformasi pada penghujung dekade 90-an, tuntunan
perubahan paradigma pendidikan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai
konsekuensinya, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan, yang mengakomodasi prinsip-prinsip otonomi
pendidikan, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kebijakan lainnya yang
mengakomodasi keragaman dan fleksibilitas, atau dengan kata lain mengakomodasi
paradigma konstruktivisme dalam pendidikan.
Permasalahannya adalah di
tingkat persepsi publik dan khususnya persepsi para pemangku kepentingan (stakeholders)
pendidikan tentang sejauh mana perubahan tersebut terjadi dan dirasakan. Publik
pengguna dan peduli pendidikan khususnya sebagian pihak yang awam secara teknis
keilmuan pendidikan umumnya hanya bisa mengalami perlakukan kebijakan dan
merasakan dampaknya (bahwa perubahan tidak sungguh-sungguh ada dalam
kenyataan), tetapi tidak bisa menunjukkan bukti-bukti secara empiris, apalagi
akademis, di mana letak masalah yang sesungguhnya. Bahkan, bukan hanya kalangan
publik luas, para guru pun masih banyak bertanya, jika benar-benar paradigma
pembelajaran konstruktivistik diberlakukan, mengapa cara-cara lama seperti ujian
nasional masih tetap ada, mengapa para pengawas mata pelajaran hanya menanyakan
kelengkapan administrasi pembelajaran dan ketuntasan kurikulum, bukan pada
proses pembelajaran dan penguasaan oleh siswa. Pertanyaan-pertanyaan serupa
terus bermunculan, yang secara umum bermuara pada pesimisme terhadap perubahan
dan peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
Tulisan ini berusaha mengupas
beberapa tema sentral: (a) paradigma pembelajaran behavioristik dan
konstrutivistik beserta contoh implementasinya di lapangan, (b) bagaimana
kaitan kedua paradigma ini dengan kebijakan desentralistik dalam sistem
pendidikan kita.
Paradigma Pembelajaran Behavioristik
Teori pembelajaran
behavioristik mencari penjelasan-penjelasan dari tingkah laku yang sederhana
yang dapat didemonstrasikan secara ilmiah.oleh karena itu, dan arena manusia
dianggap menyerupai mesin, penjelasan behavioristik cenderung agak bersifat
mekanis. Teori ini memanfaatkan dua kategori penjelasan tentang pembelajaran,
yaitu penjelasan berdasarkan pada perilaku stimulus dan respon, dan penjelasan
berdasarkan akibat dari tingkah laku yaitu penguatan dan hukuman (reinforcement
and punishment).
Beberapa prinsip dari teori behavioristik adalah
sebagai berikut:
o pengulangan
o tugas secara berurutan dari hal-hal yang kecil dan
konkret
o penguatan positif dan negatif
o konsistensi dalam penggunaan penguat selama proses
belajar mengajar
o kebiasaan dan respon yang tidak diharapkan dapat dihancurkan
dengan menghilangkan penguat positif yang terhubung pada mereka
o penguatan yang cepat, konsisten dan positif
meningkatkan kecepatan pembelajaran
o ketika suatu item dipelajari, penguatan yang
diberikan akan memperkuat daya ingat
Selama bertahun-tahun, konsep-konsep
ini mendasari sebagian besar teori yang diterapkan dalam pendidikan anak dan
dalam kelas pada umumnya. Orang tua dan guru masih menemukan bahwa dalam banyak
hal siswa dapat belajar ketika disediakan dengan campuran yang cocok antara stimulus,
ganjaran, penguatan negative dan hukuman. Khususnya dengan anak-anak kecil dan
tugas-tugas yang lebih sederhana, prinsip-prinsip behavioral sering efektif.
Namun demikian, pada akhirnya, para
pendidikan mulai merasakan bahwa walaupun stimulus-respon dapat menjelaskan
banyak tingkah laku manusia dan memiliki tempat yang kuat dalam pengajaran,
behaviorisme sendiri dianggap tidak cukup untuk menerangkan fenomena dalam
proses pembelajaran. Untuk mengatasi ruang-ruang kesenjangan inilah, pendekatan
kognitif atau konstruktivisme mulai mendapatkan tempatnya.
Dalam praktik pendidikan di sekolah,
menurut Degeng (2007), pembelajaran behavioristik menekankan pada keteraturan,
bahwa pembelajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas ditetapkan lebih dulu
secara ketat dan disiplin merupakan sesuatu yang sangat pokok. Kegagalan dalam
melaksanakan aturan merupakan kesalahan yang harus dihukum karena ketaatan
kepada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Dengan demikian, kontrol
belajar dipegang oleh sistem di luar diri pembelajar. Tujuan pembelajaran
behavioristik adalah penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah
belajar apabila mampu mengungkapkan kembali yang telah dipelajari. dalam
realita, pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak
terkait dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari),mengikuti urutan
kurikulum yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan
pada hasil. Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus berupa
satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses
belajar.
Terbingkai dalam paradigma
behavioristik, menurut Kamdi (2004), sekolah-sekolah di negeri kita dibangun di
bawah substruktur industri dan dunia usaha, termasuk mengikuti sistem kolonial
Belanda di mana sekolah semata-mata untuk melahirkan tenaga untuk menjadi
pegawai pemerintahan dan perusahaan kolonial. Sekolah-sekolah menjadi instrumen
produksi ekonomi dan politik. Akibatnya, di sekolah terjadi diferensiasi
pengetahuan. Debat isu soal jenis pengetahuan apa yang penting dikembangkan
melalui sekolah (sebut saja diferensiasi pengetahuan itu antara pengetahuan
teknis atau sains, dan yang lain: sosial-humaniora) tak kunjung henti.
Karakteristik ekonomi industrial yang korporatif memerlukan produksi pengetahuan
teknis (tingkat tinggi) untuk menjaga perangkat ekonominya berjalan efektif dan
makin canggih dalam memaksimalkan peluang ekspansi ekonominya. Apa yang lebih
diperlukan bukan perluasan pengetahuan berstatus tinggi, tetapi memaksimalkan
produksi. Akibatnya, kurikulum sekolah sarat dengan pengetahuan teknis dan
intelektualistik statis. Sekolah hadir menjadi lembaga industrial yang kaku.
Karakter metode mengajarnya menjadi lebih cenderung melatihkan pengetahuan
teknis, memompakan pengetahuan isi (content knowledge) yang kadang tidak
berpijak pada konteks sosial dan budaya masyarakat.
Singkatnya, paradigma pembelajaran
behavioristik memiliki manfaat dalam beberapa hal, namun tidak cukup untuk
menjelaskan atau mendasari semua fenomena pembelajaran. Pada kenyataannya,
paradigma ini telah dimanfaatkan untuk mendasari hampir semua fenomena
pembelajaran sehingga melahirkan kesalahkaprahan dan dampak-dampak lain yang
tidak memanusiakan manusia secara utuh.
Paradigma Pembelajaran Konstruktivistik
Konstruktivisme
merupakan teori pembelajaran yang mengargumentasikan bahwa manusia membangun
makna dari berbagai struktur pengetahuan yang ada pada dirinya. Pada
waktu-waktu yang lalu pemikiran konstruktivis tidak dihargai secara luas karena
persepsi bahwa anak-anak bermain dipandang tidak bertujuan dan memiliki sedikit
manfaat. Dewasa ini, teori konstruktivis sangat berpengaruh khususnya pada
sektor pembelajaran informal dan mulai diperkenalkan dalam sektor pembelajaran
lainnnya.
Teori
konstruktivisme menjelaskan bagaimana pengetahuan diinternalisasikan oleh
pembelajar, yaitu melalui dua macam proses, yaitu proses akomodasi dan
asimilasi. Ketika seseorang berasimilasi, ia menggabungkan pengalaman baru ke
dalam kerangka yang sudah ada tanpa mengubah kerangka tersebut. Di sisi lain,
akomodasi adalah proses membuat kerangka ulang pada representasi mental
seseorang tentang dunia luar agar bisa sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru
yang diterima.
Perlu dipahami bahwa
konstruktivisme tidak menganjurkan suatu cara pendidikan tertentu, tetapi
menggambarkan bagaimana pembelajaran seharusnya berlangsung, yaitu bahwa
pembelajar mengkonstruksi pengetahuan. Konstruktivisme merupakan gambaran
kognisi manusia yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran
yang mempromosikan learning by doing.
Dalam kaitan dengan
pembelajar, teori konstruktivisme memandang siswa sebagai individu unik dengan
kebutuhan dan latar belakang yang unik, dan memiliki kepribadian yang kompleks
dan multidimensional. Teori
konstruktivisme tidak hanya mengakui keunikan dan kompleksitas pembelajar,
tetapi juga mendorong, memanfaatkan, dan menghargainya sebagai bagian integral
dari proses pembelajaran.
Teori
konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran harus secara bertahap
menjadi tanggung jawab pembelajar. Berkaitan
dengan motivasi, teori ini menyatakan bahwa motivasi yang berkelanjutan untuk
belajar tergantung sungguh pada kepercayaan diri pembelajar pada potensi yang
dimilikinya untuk belajar. Perasaan kompeten dan keyakina pada potensi diri
untuk memecahkan masalah berasal dari pengalaman langsung mengatasi
masalah-masalah di masa lalu dan lebih kuat dibanding pengakuan dan motivasi
eksternal. Hal ini terkait dengan konsep Vygotsky yaitu zone of proximal
development, yaitu bahwa siswa ditantang dengan suatu masalah yang tingkat
kesulitannya mendekati, namun sedikit di atas tingkat perkembangannya yang
alami atau aktual. Dengan keberhasilan mengatasi masalah yang menantang
tersebut, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi untuk menghadapi
masalah yang lebih rumit.
Dalam
kaitan dengan guru, pendekatan konstruktivis meletakkan guru sebagai
fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi
siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator
adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar
pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai
kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Terkait
dengan asesmen (penilaian), teori konstruktivisme menekankan asesmen dinamik,
yaitu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara pengajar dan pembelajar.
Dalam hal ini, asesmen dan pembelajaran merupakan proses bertautan dan tidak
terpisahkan. Pengetahuan tidak dipandang sebagai pelajaran yang berbeda, tetapi
sebagai satu kesatuan yang terpadu. (en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory)
Lebih lanjut, menurut Degeng (2007),
paradigma konstrutivistik memiliki ciri khas pokok berupa ketidakaturan,
kebebasan dan keragaman. Dalam hal ini, kegagalan atau keberhasilan dilihat
sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama harus dihargai. Tujuan
pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas
kreatif-produktif dalam konteks nyata, dan beorientasi pada proses yang
mengikuti pandangan pembelajar. Proposisi pembelajaran konstruktivistik adalah
bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru; untuk itu, guru dituntut
mendorong munculnya diskusi pengetahuan yang dipelajari, mendorong munculnya berpikir
divergent, bahwa tidak hanya ada satu jawaban yang benar, mendorong munculnya
berbagai jenis luapan pikiran atau aktivitas, menekankan pada keterampilan
berpikir kritis dan menggunakan informasi pada situasi baru.
Penerapan paradigma konstruktivistik
membawa angin perubahan dunia pendidikan nasional. Pembaruan itu akan
berimplikasi amat luas (Kamdi, 2004). Pertama, perubahan visi kurikulum, dari
visi kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter. Kurikulum
yang fleksibel dan egaliter merupakan strategi untuk membelajarkan dan mengembangkan
potensi individu. Kedua, perubahan pada ranah pembelajaran. Pembelajaran akan
berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial
dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri
dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif
budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat
berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan
hasil belajar, dan berpikir cerdas dikonsepsikan mencakup
"metakognisi" atau kemampuan memonitor belajar dan berpikir sendiri.
Ketiga, perubahan strategi dan fungsi penilaian, yang memandang kurikulum
sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran sebagai proses
fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka penilaian bukan hal
yang terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran
untuk mendukung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi belajarnya
sendiri.
Kebijakan
Desentralistik Pendidikan dan kaitannya dengan Paradigma Pembelajaran
Konstrutivistik
Kenyataannya, banyak kalangan
berpendapat bahwa paradigma pendidikan kita masih dilingkupi oleh berlakunya standar
kurikulum dan ujian nasional secara ketat, termasuk melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ada
kalangan bertanya apakah Pemerintah sungguh-sungguh membangun paradigma baru
pendidikan nasional untuk keluar dari jebakan teori pendidikan
kapitalis-industrialis. Kiranya isu inilah yang perlu mendapat pembahasan pada
bagian ini.
Harus diakui (bahkan dimaklumi) bahwa
apa yang berlaku dalam sistem pendidikan kita dewasa ini adalah sistem
desentralistik dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang sampai
tingkat tertentu menyiratkan pesan sentralisasi). Oleh karena itu, pemahaman
dasar tentang desentralisai pendidikan, termasuk perumusan kebijakan kurikulum
sangat diperlukan, sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Desentralisasi pembuatan keputusan
kurikulum di sekolah mengacu pada pengakuan dan pelimpahan wewenang pembuatan
keputusan tentang kurikulum kepada guru secara individual atau sebagai tim
dalam lingkup sekolah, kecamatan atau kabupaten. Para pembuat kebijakan juga
mencakup pimpinan seperti koordinator mata pelajaran, wakil kepala sekolah
bidang kurikulum, kepala sekolah, dan kepala sub dinas kurikulum di tingkat dinas.
Ciri khas utama dari sistem pendidikan desentralistik adalah adanya pertumbuhan
dan perkembangan internal dari para guru dan sekolah sebagai sebuah masyarakat
profesional.
Bentuk desentralisasi yang pertama
dalam pembuatan keputusan kurikulum terletak di tangan guru sebagai individu
dengan kelas-kelas yang mereka ajarkan. Jadi, pengembangan kurikulum berbasis
guru (teacher-based curriculum development) ditandai oleh adanya fokus
pada kelas sebagai konteks perencanaan pendidikan dan individu guru sebagai
perencananya. Pengembangan kurikulum berbasis guru didasarkan pada kenyataan
bahwa gurulah satu-satunya orang yang dapat mengembangkan kurikulum, karena
mereka melakukan kontak langsung dengan siswa dan konteks di mana siswa berdiam
(ruang kelas) dan belajar. Namun demikian, dalam kenyataannya, sebagian besar
guru tidak mempunyai waktu, sumber daya, dan keahlian untuk mengembangkan bahan
sendiri, sehingga mereka harus mencari bahan-bahan yang sudah ada atau
dipublikasikan. Karena pertimbangan ini, sentral pembuatan dan reformasi
kurikulum desentralistik yang paling dianggap logis haruslah berada pada
tingkat sekolah atau setingginya pada tingkat kabupaten.
Ada dua kondisi yang memungkinkan
pembuatan keputusan kurikulum pada tingkat sekolah atau setidak-tidak tingkat
kabupaten untuk berhasil. Yang pertama berkaitan dengan kerjasama dan yang lain
manajemen lembaga. Dalam berbagai pengamatan penulis, guru masih menjadi
individu terisoler yang dikerangkeng dalam ruang kelas bersama muridnya
sekalipun ia sebenarnya bekerja dalam suatu institusi, padahal agar berhasil
dalam inovasi dan perubahan, semangat bekerjasama dan komunitas harus
dipelihara. Dalam suatu lingkungan kolaboratif, guru dan koordinator mata
pelajaran, wakasek kurikulum, dan pengawas mata pelajaran bekerja sama untuk
merumuskan tujuan dan proses-proses dalam mengagendakan perubahan dan
pembaharuan guru (teacher renewal).
Dari pembahasan tentang pembuatan
kebijakan kurikulum desentralistik sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa lembaga
pendidikan adalah sentral tempat berlangsungnya inovasi pendidikan dan
kurikulum. Sebagai bagian dari sebuah sistem yang besar, nasional, propinsi,
atau universitas, lembaga pendidikan (sekolah) adalah pusat. Suatu kurikulum
sentralistik (seperti kurikulum dari Jakarta) tetapi diterapkan dengan
fleksibel sesungguhnya masih memberi peluang sekolah untuk membagi praktik
terbaik (best practices) dengan bermacam-macam cara seperti publikasi
profesional, pelatihan, dan proses pembaharuan kurikulum secara informal maupun
formal. Jadi, hubungan antara berbagai sekolah sebagai inovator lokal, dan
kebijakan-kebijakan terpusat bersifat dialogis dan multi-arah.
Dalam kaitan ini, perlu dipertegas
bahwa peran dari berbagai standar pendidikan dan ujian nasional tidak boleh
menghambat agenda desentralistik, tetapi semata-mata dihajatkan untuk
mewujudkan desentralisasi yang kompetitif dan kompatibel antara satu sekolah
dengan sekolah lain, satu daerah dengan daerah lain, antara Indonesia dan
negara lain. Di samping itu, agenda standarisasi dan sentralisasi menjadi
wahana menyatukan istilah sehingga mempermudah proses pertukaran informasi dan
pembelajaran antara satu satuan pendidikan dan daerah dengan yang lain.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)