Sabtu, 12 Mei 2012

Working mom, karir ok, rumah tangga ok


WORKING  MOM

Karir ok, rumah  tangga ok! Kado Hari Kartini


Hj. IGA WIDARI, SE, M.Pd.
(Ketua II GOW Kab. Sumbawa; Ketum PD Muslimat NW Kab. Sumbawa;
Puket II STKIP Paracendekia NW Sumbawa)


Bekerja adalah ibadah. Ibadah adalah cinta. Dan bakti kita pada sang Pencipta. Maka, bekerjalah dengan cinta (Elly Mulyadi, 2009). Bekerja adalah keseharian kita. Tiada detik tanpa kita bekerja, saat kita lelap dalam tidurpun, jantung kita selalu tak henti berdenyut. 
Pada era sekarang ini, keadaan wanita bekerja di luar rumah adalah wujud dari kebutuhan pragmatis dan aktualisasi. Kebutuhan pragmatis terkait dengan desakan terpenuhinya berbagai keperluan hidup. Kebutuhan yang harus dipenuhi semakin banyak, tidak hanya kebutuhan untuk makan, tetapi juga untuk biaya pendidikan anak, hiburan, asuransi masa depan, pajak dan lain-lain. Sementara itu, pekerjaan suami di luar rumah acapkali hanya dapat memenuhi sebagian atau jumlah pas-pasan dari berbagai keperluan hidup tersebut. Dengan penghargaan untuk berkiprah setara dengan pria, seorang wanita sebagai pendamping atau partner suami terdorong untuk bisa membantu perekonomian keluarga. Inilah alasan utama mengapa sekarang ini  banyak kita jumpai wanita bekerja di berbagai sektor, baik swasta maupun pemerintah.
Alasan penting lain bagi wanita untuk berkarir adalah hak untuk mengaktualisasikan diri. Pada kenyataannya, tidak ada pekerjaan yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki. Perempuan juga dapat membuktikan dirinya melakukan yang terbaik, termasuk pada pekerjaan yang sifatnya tidak tradisional bagi mereka, seperti menjadi astronot, dokter, polisi, konsultan, hakim, politisi bahkan menjadi kepala negara. Dengan hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya, perempuan memiliki peluang akses yang sama dalam meniti karir di berbagai lapangan profesi. Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan keunggulan perempuan dalam unjuk kerja terkait dengan pekerjaan yang sifatnya rutin tetapi  membutuhkan  keuletan, ketelitian dan kesabaran pelakunya.
Dalam kajian Islam, wanita diharapkan menjadi sosok sholehah yang  mampu  mengabdi pada orang tua dan suami, dan mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi generasi bintang yang sukses dunia dan akhirat. Dengan kecenderungan demikian, banyak orang beranggapan bahwa dalam Islam wanita diharapkan bekerja hanya untuk mengurus anak-anak dan pekerjaan rutin rumah tangga saja. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Pada Zaman Rasullullah SAW, ada wanita yang mempunyai peran ganda. Selain menjadi seorang ibu rumah tangga, mereka juga berperan sebagai partner dalam dunia bisnis dan kegiatan luar rumah lainnya. Contohnya, istri pertama Rasul, Siti Khadijah, dikenal sebagai wanita pengusaha yang kaya, terlibat dalam kegiatan perdagangan di dalam dan luar negeri. Beliau juga  memiliki banyak karyawan yang membantu kelancaran usahanya. Walaupun, di sisi lain, pada masa itu, banyak juga wanita yang tidak diizinkan bekerja oleh suaminya.
Pemikiran dan keputusan bahwa wanita sebaiknya berada di rumah memang sering didasari pada kecenderungan kodrati, bahwa ditinjau dari segi fisik, wanita dianggap lemah sehingga tidak mampu bekerja terlalu berat. Ada juga faktor penyebab lain, misalnya, kekhawatiran timbulnya fitnah atau hal-hal buruk yang menimpa mereka sekiranya berada di luar rumah. Tarik menarik peran wanita pada dua sisi tersebut berlanjut sepanjang masa, termasuk saat ini. Namun, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, setelah wanita menempuh pendidikan dan pelatihan, mereka memiliki pengetahuan, sikap, keterampilan dan keahlian yang dapat digunakan untuk mengemban karir pilihan mereka.
Dari paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa selama wanita mampu menjalankan atau menata tugasnya sebagai istri dan ibu untuk anaknya serta mampu menjaga dirinya (kata-kata maupun perbutan serta penampilannya secara Islami), mereka boleh bekerja di luar rumah. Tentu inipun tidak lepas dari izin dari suami mereka. Jadi, jika seorang wanita memutuskan untuk menjadi wanita karir dengan berbagai masalahnya, iapun semestinya bisa menerima konsekuensi dengan rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Ia harus mengatur waktu sebaik mungkin untuk karir dan keluarganya sekaligus. Ia harus membuat pembagian tugas dengan suami. Kalaupun ada pembantu rumah tangga yang dapat meringankan pekerjaan rumah, peran wanita sebagai manajer rumah tangga tetap sangat dominan dan menentukan.
Lebih jauh, beberapa ahli mengemukan pendapat tentang peran ganda wanita di dalam dan luar rumah. Dr. Maya dan Wido dalam bukunya “Profesional Mother” mengungkapkan bahwa seorang ibu yang mempunyai profesi sebagai ibu rumah tanggapun tidak bisa kita anggap remeh. Mereka tentu sepantasnya berperan sebagai seorang ibu rumah tangga yang profesional (“profesional mother”). Dengan kata lain, seorang wanita yang memilih berada di rumah tidaklah berarti tidak memiliki kiprah sebagai profesional. Bisa jadi ia memilih berkiprah untuk suami dan anak-anak atau rumah tangganya secara umum, di samping sebagai panggilan kewanitaannya, juga karena ia memiliki keahlian, pendidikan dan pelatihan berkaitan dengan pendidikan atau manajemen rumah tangga. Melalui tangan-tangan dingin merekalah lahir para ilmuwan, cendekiawan dan bahkan para pemimpin dunia masa depan. Di samping itu, dari tangan dingin para istri yang perkasa, muncul laki-laki atau suami-suami yang menjadi pejabat-pejabat penting dan menghasilkan karya-karya menakjubkan di dunia, baik dalam pemerintahan maupun dalam usaha swasta.
Selanjutnya, Rieny Hassan, seorang psikolog terkemuka mengungkapkan bahwa bekerja bukan berarti harus bekerja menjadi PNS ataupun di perusahaan. Bekerja juga bisa dilakukan di rumah dengan membuka usaha yang bisa menghasilkan uang. Hidup tidak selalu memberi apa yang kita inginkan. Oleh karena itu, banyak kompromi yang harus dilakukan untuk menjalani hidup ini. Seorang wanita tetap bisa berkarir di luar rumah tanpa harus meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga. Yang perlu ia siapkan adalah rasa cinta dalam keluarga. Kontrol dan kendali ada di tangan sang wanita.
Terakhir, James Roney, seorang psikolog  dari Universitas California, Santa Barbara, mengungkapkan bahwa bukan zamannya lagi sekarang bahwa urusan anak mutlak kewajiban seorang ibu. Dalam penelitiannya, ia menemukan adanya kecenderungan wanita tertarik untuk membina hubungan yang serius dengan pria yang menyukai anak-anak. Bahkan melalui raut muka saja wanita dapat memilih laki-laki menarik sebagai figur ayah yang baik kelak bagi anak-anaknya. Semakin besar penilaian mereka terhadap pria yang menyukai anak-anak, semakin besar keinginan mereka untuk menjalin hubungan jangka panjang. Dengan kata lain, sebagaimana halnya bagi wanita untuk berkiprah mendukung suami dengan berkarir atau berkiprah di luar rumah, lak-laki juga dapat membantu istri dengan menjadi pemain penting dalam pendidikan anak dan penataan rumah tangga pada umumnya, di samping bekerja di luar rumah.
Dari pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa wanita yang bekerja hendaknya mampu membagi waktu dengan bijak antara karir dan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Bahwa wanita bekerja adalah lumrah bahkan sunnatullah, yakni bahwa wanita senantiasa mengindahkan norma-norma agama dan sosial, serta tetap memerankan ibu rumah tangga sebagai pilar terwujudnya keluarga sakinah mawaddah, warahmah. Dalam konteks ini, kaum laki-laki mendukung sepenuhnya pilihan kiprah kaum wanita demi kemajuan peradaban dan bangsa ini seutuhnya. Selamat Hari Kartini.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 20 April 2012)
           

Pembelajaran Positif, Kreatif dan Menyenangkan

PEMBELAJARAN POSITIF, KREATIF 
DAN MENYENANGKAN

HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa


 Setiap guru pasti berharap bisa mewujudkan pembelajaran positif, kreatif dan menyenangkan (P2KM) bagi semua siswanya. Namun, pada kenyataannya, banyak guru yang masih terkungkung oleh pola pikir sentralistik, monolitik dan uniformitas. Dalam kerangka pikir seperti ini, guru mengajar sesuai dengan kebijakan dan kurikulum yang telah ditetapkan dari atas dan keberhasilannya ditentukan melalui pencapaian nilai tinggi dalam ujian yang diselenggarakan secara sentralistik pada akhir masa studi pada satu satuan pendidikan. Kadang-kadang luput dari kesadaran bahwa pembelajaran berorientasi hasil seperti ini umumnya telah mengabaikan proses yang seharusnya membangun semangat, sikap positif dan kreatif dan dilakukan dengan penuh sukacita oleh para siswa.
Sejatinya, seorang guru harus dapat melihat masalah pada tempatnya; yaitu bahwa agenda kurikulum dan ujian nasional tidak boleh mengurangi semangat mereka untuk mewujudkan P2KM apalagi saat ini telah berlaku kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dan ujian hanya berlaku pada beberapa pelajaran dan dilaksanakan pada akhir masa studi saja, tidak setiap semester atau setiap tahun.
Dalam tulisan ini, penulis menyajikan beberapa terobosan P2KM di dalam dan luar negeri, kemudian berdasarkan pengalaman penulis sendiri. Pada bagian akhir, penulis merefleksikan terobosan P2KM sesuai dengan pemaparan Profesor Degeng berjudul “Orkestra belajar-mengajar kreatif untuk menumbuhkan keterampilan hidup” (2007).

P2KM: Tinjauan Pustaka
Banyak pembelajaran kreatif telah dikembangkan dalam rangka mewujudkan pembelajaran positif, kreatif dan menyenangkan), sebagaimana dipaparkan berikut ini (Jazadi, 2005).
Hamzah dan Rahman (2002) menemukan bahwa mahasiswanya di Jurusan Matematika Universitas Negeri Makasar tidak terlibat dalam pembelajaran mendalam, ditunjukkan antara lain oleh ketergantungan mereka hanya pada catatan-catatan kuliah sebagaimana ditulis oleh dosen di papan tulis. Keprihatinan ini menginspirasikan mereka untuk melakukan penelitian aksi dengan memperkenalkan pendekatan belajar baru, yaitu, penulisan jurnal perkuliahan, untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk belajar mandiri pada mata kuliah Geometri yang mereka bina. Mereka mengikuti petunjuk ahli tentang prosedur pendekatan tersebut, seperti orientasi teknik-teknik di awal tahun ajaran, kemudian penyiapan daftar bahan bacaan (buku, jurnal dan makalah) yang dapat diakses oleh mahasiswa secara mandiri, dan lain-lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para mahasiswa mengalami perubahan dalam hal minat, cara dan hasil belajar setelah terbiasa melakukan pendekatan baru tersebut. Tumbuh rasa cinta menulis dalam diri mereka dalam tema-tema Geografi; mereka juga termotivasi mencari sendiri literatur-literatur di luar perkuliahan. Singkatnya, ada perubahan signifikan dari cara belajar yang sebelumnya sekedar untuk memenuhi persyaratan ujian (surface learning) menjadi cara belajar yang didorong secara intrinsik untuk mengkaji pelajaran secara mendalam (deep learning).
Legutke dan Thomas (1991) melaporkan beberapa studi kasus di Eropa tentang pengajaran bahasa asing yang dilakukan berdasarkan project work. Project work adalah kegiatan belajar mengajar yang didasarkan pada tema-tema dan tugas-tugas sehari-hari yang dihasilkan dari kesepakatan bersama dari semua peserta belajar. Proyek pembelajaran bahasa asing tersebut terdiri atas tiga macam: encounter, text, and class correspondence projects. Proyek encounter memungkinkan mahasiswa untuk membuat kontak langsung dengan pembicara asli, misalnya, dengan mewawancarai turis dalam bahasa target di bandara, hotel, perusahaan multinasional, dan pusat wisata. Pembicara asli juga diundang ke sekolah untuk menjadi narasumber. Kedua, proyek “teks” memungkinkan mahasiswa untuk bergumul dengan teks-teks dari kehidupan sehari-hari yang diperoleh dari majalah, koran, berita dan film TV, lagu, puisi, stiker, brosur, manual, dan lain-lain. Terakhir, proyek “korespondensi kelas” merangsang mahasiswa untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar negeri dalam bahasa target melalui surat, cerita foto, dan teks yang memperkaya pemahaman lintas budaya.
Coleman (1996) melihat bahwa budaya ruang kelas di Indonesia adalah ajang tontonan mengajar, teaching spectacles, di mana dosen adalah pemain aktif, sementara mahasiswa adalah penonton pasif. Dia mengamati dalam kegiatan belajar mengajar fenomena mahasiswa datang terlambat, keluar masuk ruangan, tanpa merasa terganggu dengan dosen yang sibuk “pidato” di depan kelas, sebagai hal yang lazim terjadi di Indonesia. Untuk itu, ia kemudian membuat inovasi gaya pembelajaran yang ia sebut dengan learning festival, di mana semua mahasiswa terlibat sebagai pemain atau memiliki peran dalam kegiatan pembelajaran. Dengan gaya pembelajaran seperti itu, Coleman melihat bahwa mahasiswa tidak lagi dibatasi aturan-aturan sosial yang memisahkan diri mereka dengan yang lain dan dengan dosen; semua mahasiswa berdiri, berinteraksi, bergabung, dan berbaur. Efektivitas pembelajaran semacam ini dibantu oleh adanya asisten-asisten dosen atau dosen muda yang membantu kegiatan komunikatif para mahasiswa yang mencapai jumlah seratus dalam satu kelas.

P2KM: Pengalaman Penulis
Salah satu pelajaran yang sangat penting di sekolah adalah pelajaran bahasa Inggris karena bahasa ini sangat diperlukan sebagai alat komunikasi global. Pada kenyataannya, bahasa Inggris masih menjadi momok atau suatu hal yang menakutkan, mata pelajaran yang dibenci, dari anak-anak SD sampai mahasiswa. Untuk membantu meningkatkan partisipasi dan minat siswa terhadap bahasa Inggris, sejak beberapa tahun lalu, bersama suami, saya telah membuka lembaga pendidikan nonformal bahasa Inggris. Segmen pembelajaran yang menjadi tugas saya adalah program bahasa Inggris untuk tingkat anak-anak (setara tingkat sekolah dasar), English for Children. Kami menyiapkan sarana belajar yang memadai seperti LCD, video, televisi, tape recorder, dan fasilitas multimedia lainnya.
Namun, rupanya anak-anak tidak benar-benar termotivasi dalam belajar dengan hanya menonton dan merespon pada bahan-bahan yang disajikan melalui multimedia tersebut. Mereka hanya tertarik jika multimedia digunakan secara berseling dengan teknik-teknik mengajar yang lain. Oleh karena itu, upaya mengembangkan pembelajaran yang positif, kreatif dan menyenangkan (P2KM) pada pelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak tingkat pemula terus kami upayakan.
Karena kondisi di atas, beberapa strategi pembelajaran positif, kreatif dan menyenangkan (P2KM) telah kami kembangkan. Pertama, mengajar tidak hanya menggunakan buku ajar, tetapi juga melalui alat peraga berwarna dan realia seperti berbagai macam buah-buahan, sayur-sayuran, mainan hewan, alat transportasi, pakaian, dan lain-lain. Respon dan partisipasi positif anak-anak sangat kami rasakan. Anak-anak merasa bersemangat dan sangat senang sehingga waktu pun tak terasa berlalu.
Kedua, kami menerapkan pembelajaran berbasis rumah tangga (karena ruang belajar merupakan bagian dari rumah). Siswa mempelajari kosakata dan kalimat sederhana terkait tema rumah dan pekarangannya secara langsung dengan mengekplorasi seluruh bagian-bagian rumah termasuk ruangannya, ciri dan isi masing-masing ruang, mulai ruang tamu sampai dapur dan kamar mandi, termasuk mengeksplorasi nama-nama peralatan di dapur, di kulkas, dan lain-lain. Semua dilakukan berbasis rumah tangga, artinya memanfaatkan sebagian besar isi rumah sebagai alat bantu pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran terasa hidup dan benar-benar sesuai kondisi sesungguhnya kehidupan sehari-hari. Siswa sangat merasakan manfaat belajar. Mereka juga diberi tugas untuk mengidentifikasi semua peralatan dan barang yang ada di rumah masing-masing untuk memastikan bahwa bahasa Inggris mereka ada juga di rumah.
Strategi ketiga berkaitan dengan lokasi belajar; belajar tidak hanya dilakukan di dalam kelas (indoor), tetapi juga di luar kelas (outdoor). Dalam hal ini, kami mengajak siswa untuk berwisata ke pantai sambil belajar di alam terbuka. Mereka mengidentifikasi benda-benda di sekelilingnya, kemudian mengingat dan menuliskannya di buku catatan mereka dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Untuk menguji memori, pelajaran tentang keadaan di pantai juga dibahas di kelas pada pertemuan selanjutnya.
Stategi keempat adalah menghadirkan tamu dari mancanegara sekali dalam setahun atau per triwulan. Kebetulan beberapa petugas hotel memiliki hubungan persahabatan dengan kami sehingga bersedia mengajak tamu yang tertarik untuk berkunjung ke kelas kami. Ini bertujuan agar siswa bisa melihat atau berinteraksi secara langsung dengan orang luar, merasa mampu mempraktikkan ilmu yang pernah diperoleh, dan berbagi pengalaman dalam bahasa Inggris. Strategi terakhir adalah menyediakan perpustakaan mini, sederhana tetapi menambah wawasan siswa; buku bisa diperpinjamkan untuk dibawa pulang. Ini sebagai salah satu sarana untuk membantu siswa, terutama yang kurang mampu untuk membeli buku. Karena tidak cukup wawasan hanya melalui atau membawa diktat wajib yang disediakan pengelola.
Melalui strategi dan teknik di atas, anak-anak tampak selalu berusaha menguasai kompetensi yang dipersyaratkan dengan penuh semangat.

Refleksi dan Kesimpulan
Contoh-contoh pembelajaran kreatif baik yang disampaikan di atas menunjukkan bahwa indikator keberhasilan belajar-mengajar adalah “anak sejahtera”, yaitu bahwa aktivitas belajar mereka menyenangkan dan menggairahkan. Para siswa atau mahasiswa dalam contoh-contoh tersebut diberi kebebasan untuk belajar secara santai, diberi bekal untuk belajar di luar kelas sehingga dapat menemukan ketakjuban-ketakjuban melalui pencarian mereka sendiri.
Para guru dan dosen dalam contoh tersebut telah taat azas dengan memasuki dunia peserta belajar, membawa dunia siswa ke dalam dunia mereka sebagai guru dan mengantar dunia mereka sebagai guru ke dalam dunia siswa. Masing-masing mereka telah melihat kenyataan betapa kondisi pembelajaran konvensional (tanpa upaya kreatif) seperti yang sebelumnya terjadi tidak memiliki dampak pembelajaran pada siswa atau mahasiswa. Yang tampak tak lebih bahwa peserta belajar tersebut mengikuti program belajar, tidak semata-mata belajar, dan akhirnya dinyatakan tamat belajar dengan indikator kelulusan hasil ujian yang nota bene tidak merefleksikan keterampilan hidup. Pendidik-pendidik tersebut berhasil mengubah suasana pembelajaran menjadi dinamis dan menyenangkan, termasuk mencapai hasil belajar yang terukur sebagai keterampilan hidup.
Dari apa yang dipaparkan Hamzah dan Rahman (2002), dijelaskan bahwa mahasiswa terlebih dahulu dilatih dengan keterampilan belajar sesuai dengan anjuran ahli termasuk cara menemukan referensi, berkonsentrasi, membaca, mencatat, dan mengingat. Keterampilan-keterampilan tersebut kemudian dapat dipraktekkan secara mandiri di luar kelas dan jadwal kuliah sehingga memberikan keleluasaan, kenyamanan dan motivasi yang kuat pada diri mahasiswa. Cara-cara tersebut telah mengubah kebiasaan-kebiasaan belajar mahasiswa secara fundamental menjadi lebih baik.
Laporan Legutke dan Thomas (1991) menunjukkan satu contoh pembelajaran yang meliputi penetapan tujuan bersama, membangun prinsip dan nilai bersama, membangun keyakinan dan kemampuan diri siswa, membangun kesepakatan, kebijakan, prosedur dan aturan bersama, dan membangun kemitraan dalam belajar. Proses pembelajaran ini mencerminkan pengakomodasian dan pengelompokan minat peserta belajar dan bagaimana masalah-masalah kehidupan sesungguhnya dihadapi dan dipecahkan. Percobaan yang dilakukan Coleman menunjukkan analogi suasana pembelajaran konvensional dengan budaya masyarakat setempat dan melalui telaah kritis telah diformulasikan agenda budaya baru yang lebih kondusif dalam konteks pembelajaran. Dunia siswa telah dimasuki dan kemudian rekonstruksi (dunia guru) telah ditawarkan.
Akhirnya, strategi-strategi pembelajaran yang telah penulis sendiri kembangkan berkaitan dengan konteks yang menggubah suasana yang menggairahkan, yaitu membangun motivasi, menjalin rasa simpati dan saling pengertian, membangun keriangan dan ketakjuban dan menampilkan keteladanan. Semua strategi tersebut cocok untuk konteks anak-anak termasuk yang berada usia sekolah dasar.
Singkatnya, semua contoh pembelajaran yang penulis paparkan di atas termasuk dalam kategori P2KM yang merupakan Orkestra Belajar-Mengajar Kreatif.

Daftar Rujukan
Coleman, H. (1996). Shadow puppets and language lessons: Interpreting classroom behaviour in its cultural context. In H. Coleman (Ed.), Society and the language classroom (pp. 64-85). Cambridge: Cambridge University Press.
Degeng, N.S. (2007, 9/16). Orkestra Belajar-Mengajar Kreatif, slide perkuliahan Universitas Adi Buana Surabaya.
Hamzah, & Rahman, A. (2002). Peningkatan Kemampuan Mahasiswa untuk Belajar Mandiri pada Mata Kuliah Geografi Melalui Penulisan Jurnal Perkuliahan. Jurnal Ilmu Pendidikan, 9(2), 142-150.
Jazadi, I. (2005). Evaluasi dan Pengembangan Proses Belajar di Perguruan Tinggi. Jurnal Ilmu Pendidikan, 12(1), 1-17.
Legutke, M., & Thomas, H. (1991). Process and experience in the language classroom. London; New York: Longman.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 5 & 6 Februari 2008)

Pembelajaran I2M3


PEMBELAJARAN YANG INTERAKTIF, INSPIRATIF,
MENYENANGKAN, MENANTANG DAN MEMOTIVASI

HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa 

Tulisan ini membahas upaya mewujudkan pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi (I2M3) sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, bahwa:
Proses pembelajaran diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terasa hidup, memotivasi, interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologisnya (Pasal 19, ayat 1).
Sebelum upaya ini dapat dilakukan, penulis melakukan pengamatan tentang kegiatan pembelajaran di sekolah karena diyakini sebelum sebuah kebijakan inovatif dapat diterapkan realitas lapangan harus benar-benar dipertimbangkan. Hasil oberservasi lapangan kemudian penulis bahas menurut paradigma pembelajaran konstruktivistik yang mendasari proses pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi.

Observasi Tentang Kegiatan Pembelajaran di Sekolah
Penulis berkeliling ke beberapa sekolah untuk menyaksikan bagaimana suasana pembelajaran di kelas. Penulis berbicara dengan para guru dan siswa, tentang apa yang mereka alami, pikirkan dan rasakan. Penulis berkunjung ke beberapa rumah tangga di sekitar lingkungan tempat tinggal penulis, berbicara dengan orang tua tentang pendidikan anak-anak mereka. Apa yang penulis peroleh dari proses-proses tersebut? Ternyata, secara umum, penulis menemukan potret yang masih memprihatinkan tentang kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Ada tiga ciri umum yang penulis peroleh, yaitu pembelajaran yang masih berorientasi disiplin kaku, berpusat pada guru, dan kurikulum yang tidak responsif terhadap kondisi siswa. Tentu temuan ini mungkin tidak sepenuhnya mewakili kondisi keseluruhan, tetapi kiranya dapat dijadikan salah satu cara bercermin.
Pertama, pendidikan di sekolah masih dikelola dengan orientasi pada kedisiplinan dan penyeragaman tingkah laku. Siswa masuk harus jam 06.45 tepat. Kalau terlambat, mereka akan mendapat hukuman apapun alasannya. Dalam melaksanakan upacara bendera, siswa tanpa kecuali harus mengikuti upacara tersebut dan harus berbaris sesuai dengan kelasnya masing-masing. Kalau tidak mematuhi peraturan itu, siswa tersebut mendapat hukuman disiplin. Di samping itu, siswa harus berpakaian seragam yang sesuai dengan ketentuan pada hari-hari tertentu. Bila tidak, siswa juga mendapat hukuman fisik maupun teror mental oleh guru.
Kedua, pembelajaran masih sangat nampak keberpusatannya pada guru. Dalam mengikuti pelajaran, siswa diharuskan memperhatikan guru dengan sikap duduk yang sopan dan tenang memperhatikan guru yang menerangkan. Bila siswa berbicara atau kurang memperhatikan guru, maka siswa tersebut biasanya ditegur bahkan tidak jarang yang langsung dibentak. Kebanyakan siswa takut bertanya kalau tidak diberi kesempatan bertanya oleh guru. Kadang-kadang guru mengembalikan pertanyaan suatu pertanyaan dari siswa kepada siswa yang sama sehingga siswa lain sangat takut untuk bertanya karena takut kalau ditanya kembali oleh guru.
Terakhir, kurikulum yang diterapkan masih tidak responsif terhadap kondisi siswa. Siswa yang berbeda-beda harus menuntaskan target kurikulum yang sama dan harus menguasai tujuan instruksional yang sama dari tujuan yang telah ditentukan. Biasanya buku pegangan yang digunakan oleh siswa juga diseragamkan. Siswa umumnya tidak berani menggunakan buku pegangan lain karena khawatir tidak sesuai dan tentu tidak keluar dalam ulangan harian maupun ulangan umum. Dalam melakukan ulangan umum atau ulangan harian, waktu yang digunakan siswa untuk mengerjakan juga disamakan baik untuk siswa yang pandai maupun siswa yang kurang pandai. Nilai dari ulangan siswa hanya menilai pengetahuan (kognitif) saja, karena alat evaluasinya berupa tes. Anak yang nilainya bagus diberi penguatan, sedangkan anak yang nilainya jelek banyak yang dimarahi atau dicaci maki oleh guru, atau direndahkan di depan teman-temannya, sehingga siswa merasa benci dengan pelajaran yang dimaksud.

Pembahasan Masalah
Badai pasti berlalu? Badai pasti berlalu! Badai pasti berlalu. (Degeng,  1997)
Kalau ketiga persoalan yang penulis kemukakan di atas diibaratkan sebagai ”badai”, pertama penulis (dan para guru umumnya) bertanya atau dengan nada ragu menyatakan bisa tidaknya hal itu diatasi. Namun setelah berpikir, sebagai pembaharu penulis bertekad atau dengan lantang bahwa badai itu pasti perlalu (lihat tanda ”!”). Baru setelah mengkaji bahan-bahan tentang paradigma konstrutivistik, penulis (dan kiranya para guru umumnya) meyakini dan menyimpulkan bahwa badai itu pasti berlalu. Pada bagian pembahasan ini, sebelum membahas secara khusus masalah di atas, penulis membahas paradigma I2M3 memasuki era belajar (Degeng, 2007).
Pertama, belajar dianalogikan sebagai air yang mengalir di suatu sungai dengan dinamis, penuh resiko dan menggairahkan. Kesalahan, kreativitas, potensi dan ketakjuban mengisi tempat itu. Dalam analogi ini, penulis memahami bahwa belajar adalah kegiatan alamiah, kegiatan kehidupan, kegiatan yang identik dengan kehidupan itu sendiri. Siswa sebagai pelaku pembelajaran menjalani proses tersebut dengan penuh semangat, gairah, dan dinamika. Mereka bebas berkreasi dan berekspresi sesuai potensi mereka sekalipun kesalahan dan ketakjuban silih berganti mereka temukan dan rasakan dalam proses tersebut. Kesalahan dan kekeliruan merupakan bagian integral dari proses pembelajaran dan karenanya harus diberi ruang pengakuan dan apresiasi.
Kedua, mengajar dianalogikan sebagai pekerjaan ”tukang bersih sungai” agar air dapat mengalir bebas hambatan. Pekerjaan tersebut termasuk mengangkat sampah dan kotoran lain, mengeruk lumpur dan pasir, dan memindahkan batu dan kayu. Guru sebagai tukang bersih sungai tidak mengganggu air dengan segala potensi untuk mengalir. Dalam perspektif ini, guru memfasilitasi siswa dengan meminimalisir segala hal yang bisa menjadi penghambat perkembangan mereka. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas guru dituntut memiliki ketulusan hati, kesetiaan, kemesraan, kesabaran, cinta, sukacita, improvisasi, dan pengendalian diri. Dengan memegang nilai-nilai dan keterampilan tersebut, para guru akan dapat mengemban tugas  bagaimanapun beratnya.
Ketiga, kurikulum dapat diibaratkan sebagai sebuah sungai yang indah diarungi, berliku-liku, banyak jeram dan batu cadas. Segala yang tersembunyi dan terbuka ada di situ dalam ketidakaturan. Dengan demikian, kurikulum tidaklah bermakna sempit sebagai sebuah buku yang disediakan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang disebut Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), tetapi mengacu pada proses-proses pembuatan kebijakan yang relevan yang dilakukan oleh semua pihak pendidikan yang berkepentingan, yang hasilnya dapat berupa dokumen kebijakan seperti GBPP, silabus atau daftar bahan ajar, program pelatihan guru, bahan dan sumber belajar, kegiatan belajar mengajar, dan kegiatan ujian dan evaluasi. Di samping itu, termasuk ke dalam kurikulum juga segala hal yang terjadi atau muncul walau tidak secara khusus direncanakan atau bahkan tidak diinginkan untuk terjadi. Mengingat kompleksitas kurikulum dalam pemaknaan seperti ini, telah diatur dalam PP No. 19 Tahun 2005, Pasal 17, bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan (dasar dan menengah) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik, dengan melibatkan sekolah dan komite sekolah di bawah pembinaan dinas pendidikan kabupaten atau kota. Diharapkan konsepsi baru dapat menjadi rujukan para stakeholder pendidikan dalam berbagai tingkatan.
Dengan demikian, indikator belajar-mengajar-kurikulum dalam perspektif konstruktivisme  adalah terwujudnya “siswa sejahtera”, bahwa aktivitas belajar mereka penuh dengan interaksi yang inspiratif, menyenangkan, menggairahkan, bebas, terbuka, santai, menantang dan penuh ketakjuban.
Terkait dengan deretan masalah yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, dikemukakan beberapa cara penanganan menurut paradigma I2M3 berikut ini. Pertama, terkait kedisiplinan, supaya kreativitas siswa tidak terbunuh karena pembiasaan masuk tepat jam 06.45,  guru perlu meneliti atau menanyakan siswa dengan ramah tentang  penyebab siswa terlambat. Dengan demikian, dalam diri siswa tidak ada rasa takut kalau terlambat karena alasan yang tidak dibuat-buat atau karena situasi sulit yang menyebabkan siswa itu terlambat. Dengan demikian, dalam mengikuti pelajaran pun siswa tidak tertekan atau dibebani perasaan bersalah yang mendorong siswa untuk tetap masuk kelas jika suatu saat terlambat.
Masalah berikutnya, Jika ada siswa yang kebetulan pada suatu hari tidak seragam karena alasan yang tepat, contohnya akan mengikuti lomba PMR, lomba Pramuka, Bola basket atau lomba-lomba yang lain, maka guru perlu menanyakan siswa dengan ramah penyebab ia tidak memakai seragam pada hari itu, kemudian mempersilahkan masuk kelas dengan suasana yang bersahabat. Bila ada siswa yang dalam mengikuti upacara bendera tidak berbaris di kelasnya, maka guru sebaiknya membiarkan saja asalkan siswa tidak ramai dan mengganggu siswa yang lain. Hal itu dimaksudkan agar siswa tidak terbiasa diperlakukan dengan keras tentang kesalahan-kesalahan yang kecil seperti itu dan siswa mengikutinya dengan senang hati. Hal itu juga akan mendorong siswa belajar dengan giat karena dalam diri siswa tidak mengalami tekanan-tekanan.
Kedua, pembelajaran harus berorientasi pada siswa. Bila ada siswa yang tidak memperhatikan ketika guru menerangkan atau siswa berbicara sendiri, maka yang pertama dilakukan oleh guru adalah instrospeksi diri, bagaimana cara penyampaian materinya “apa kurang jelas” atau materi yang disampaikan memang kurang menarik bagi siswa, jadi tidak boleh langsung mengultimatum siswa bahwa siswa tidak menurut dan langsung diberi hukuman. Mestinya seorang guru selalu memberi waktu bagi siswa untuk bertanya dan guru selalu menghargai walaupun pertanyaan siswa kurang baik atau kurang berbobot, sehingga dalam diri siswa timbul semangat untuk selalu bertanya tentang hal-hal yang kurang dimengerti siswa yang akhirnya akan dapat menambah senang suasana belajar di kelas.
Terakhir, terkait kurikulum, sudah semestinya sekolah tidak menyeragamkan buku pegangan bagi siswa, karena suatu materi akan bertambah lengkap jika buku pegangan yang digunakan semakin banyak. Hal itu akan menguntungkan bagi wawasan pendidikan siswa maupun bagi gurunya. Karena ada materi yang esensial yang tidak terdapat di buku yang satu tetapi terdapat di buku yang lainnya.  Lebih dari itu, mestinya soal-soal ulangan anak-anak yang pandai itu dibedakan dengan anak-anak yang kurang pandai baik bobot, jumlah soal maupun alokasi waktunya dan tidak dibandingkan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai. Penilaiannya harus berdasarkan kompetensi yang diraih oleh masing-masing siswa yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotornya, dengan tidak hanya berbasis tes, tetapi juga melalui kegiatan langsung (performance) dan karya (portfolio). Kegiatan pengayaan untuk siswa yang cepat dan kegiatan remedial bagi siswa yang lambat perlu diadakan; penguasaan kompetensi oleh siswa menjadi tujuan yang harus dicapai, walaupun dengan kecepatan masing-masing siswa yang berbeda.
Lebih jauh, ada berbagai cara untuk penerapan pembelajaran I2M3. Yang pertama adalah sistem kredit semester (SKS); ciri-cirinya dipaparkan berikut ini. Siswa diberi keleluasaan untuk memilih mata pelajaran sesuai minatnya. Tidak ada kenaikan kelas; kegiatan remedial dilakukan sepanjang semester bagi siswa yang lamban, sementara bagi siswa cepat diberikan program percepatan belajar atau pengayaan sesuai kebutuhan. Pengelolaan kelas dapat berlangsung secara moving (berpindah-pindah), sementara pengaturan belajar dilakukan secara tatap muka maupun non tatap muka melalui penugasan atau melalui media (Direktorat PMSMA, 2007).
Bentuk lain implementasi dari pembelajaran berbasis peserta didik adalah pembelajaran berbasis multimedia, khususnya melalui internet. Program ini dapat dipadukan dengan sistem kredit semester. Dengan penerapan teknologi informasi ini, siswa dapat belajar di sekolah atau di rumah. Terdapat banyak pilihan bahan, baik yang disiapkan oleh guru dan sekolah, maupun apa yang diperoleh siswa melalui browsing internet terhadap berbagai masalah pelajaran yang diberikan atau ditemukan sendiri oleh siswa. Dalam hal ini, siswa akan belajar sesuai dengan minat dan kecepatannya. Bagi siswa yang lambat dapat diberikan pendampingan remedial, sedangkan bagi siswa yang cepat dapat diberikan pengayaan. Intinya adalah bahwa semua siswa menguasai semua materi ajar yang dipersyaratkan dengan kecepatan masing-masing (Wen, 2003). 
(Terbit di Harian Gaung NTB, 24 & 25 Januari 2008)

Paradigma Pembelajaran: Behavioristik vs. Konstruktivistik


PARADIGMA PEMBELAJARAN:
BEHAVIORISTIK VS. KONSTRUKTIVISTIK DAN IMPLIKASINYA

HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa 

Pendidikan di Indonesia selama berpuluh-puluh tahun sejak kemerdekaan masih memiliki ciri-ciri yang sangat behavioristik. Namun demikian, sejak bergulirnya reformasi pada penghujung dekade 90-an, tuntunan perubahan paradigma pendidikan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai konsekuensinya, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, yang mengakomodasi prinsip-prinsip otonomi pendidikan, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kebijakan lainnya yang mengakomodasi keragaman dan fleksibilitas, atau dengan kata lain mengakomodasi paradigma konstruktivisme dalam pendidikan.
Permasalahannya adalah di tingkat persepsi publik dan khususnya persepsi para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan tentang sejauh mana perubahan tersebut terjadi dan dirasakan. Publik pengguna dan peduli pendidikan khususnya sebagian pihak yang awam secara teknis keilmuan pendidikan umumnya hanya bisa mengalami perlakukan kebijakan dan merasakan dampaknya (bahwa perubahan tidak sungguh-sungguh ada dalam kenyataan), tetapi tidak bisa menunjukkan bukti-bukti secara empiris, apalagi akademis, di mana letak masalah yang sesungguhnya. Bahkan, bukan hanya kalangan publik luas, para guru pun masih banyak bertanya, jika benar-benar paradigma pembelajaran konstruktivistik diberlakukan, mengapa cara-cara lama seperti ujian nasional masih tetap ada, mengapa para pengawas mata pelajaran hanya menanyakan kelengkapan administrasi pembelajaran dan ketuntasan kurikulum, bukan pada proses pembelajaran dan penguasaan oleh siswa. Pertanyaan-pertanyaan serupa terus bermunculan, yang secara umum bermuara pada pesimisme terhadap perubahan dan peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
Tulisan ini berusaha mengupas beberapa tema sentral: (a) paradigma pembelajaran behavioristik dan konstrutivistik beserta contoh implementasinya di lapangan, (b) bagaimana kaitan kedua paradigma ini dengan kebijakan desentralistik dalam sistem pendidikan kita.

Paradigma Pembelajaran Behavioristik
Teori pembelajaran behavioristik mencari penjelasan-penjelasan dari tingkah laku yang sederhana yang dapat didemonstrasikan secara ilmiah.oleh karena itu, dan arena manusia dianggap menyerupai mesin, penjelasan behavioristik cenderung agak bersifat mekanis. Teori ini memanfaatkan dua kategori penjelasan tentang pembelajaran, yaitu penjelasan berdasarkan pada perilaku stimulus dan respon, dan penjelasan berdasarkan akibat dari tingkah laku yaitu penguatan dan hukuman (reinforcement and punishment).
Beberapa prinsip dari teori behavioristik adalah sebagai berikut:
o pengulangan
o tugas secara berurutan dari hal-hal yang kecil dan konkret
o penguatan positif dan negatif
o konsistensi dalam penggunaan penguat selama proses belajar mengajar
o kebiasaan dan respon yang tidak diharapkan dapat dihancurkan dengan menghilangkan penguat positif yang terhubung pada mereka
o penguatan yang cepat, konsisten dan positif meningkatkan kecepatan pembelajaran
o ketika suatu item dipelajari, penguatan yang diberikan akan memperkuat daya ingat
Selama bertahun-tahun, konsep-konsep ini mendasari sebagian besar teori yang diterapkan dalam pendidikan anak dan dalam kelas pada umumnya. Orang tua dan guru masih menemukan bahwa dalam banyak hal siswa dapat belajar ketika disediakan dengan campuran yang cocok antara stimulus, ganjaran, penguatan negative dan hukuman. Khususnya dengan anak-anak kecil dan tugas-tugas yang lebih sederhana, prinsip-prinsip behavioral sering efektif.
Namun demikian, pada akhirnya, para pendidikan mulai merasakan bahwa walaupun stimulus-respon dapat menjelaskan banyak tingkah laku manusia dan memiliki tempat yang kuat dalam pengajaran, behaviorisme sendiri dianggap tidak cukup untuk menerangkan fenomena dalam proses pembelajaran. Untuk mengatasi ruang-ruang kesenjangan inilah, pendekatan kognitif atau konstruktivisme mulai mendapatkan tempatnya. 
Dalam praktik pendidikan di sekolah, menurut Degeng (2007), pembelajaran behavioristik menekankan pada keteraturan, bahwa pembelajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas ditetapkan lebih dulu secara ketat dan disiplin merupakan sesuatu yang sangat pokok. Kegagalan dalam melaksanakan aturan merupakan kesalahan yang harus dihukum karena ketaatan kepada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Dengan demikian, kontrol belajar dipegang oleh sistem di luar diri pembelajar. Tujuan pembelajaran behavioristik adalah penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah belajar apabila mampu mengungkapkan kembali yang telah dipelajari. dalam realita, pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak terkait dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari),mengikuti urutan kurikulum yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan pada hasil. Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus berupa satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses belajar.
Terbingkai dalam paradigma behavioristik, menurut Kamdi (2004), sekolah-sekolah di negeri kita dibangun di bawah substruktur industri dan dunia usaha, termasuk mengikuti sistem kolonial Belanda di mana sekolah semata-mata untuk melahirkan tenaga untuk menjadi pegawai pemerintahan dan perusahaan kolonial. Sekolah-sekolah menjadi instrumen produksi ekonomi dan politik. Akibatnya, di sekolah terjadi diferensiasi pengetahuan. Debat isu soal jenis pengetahuan apa yang penting dikembangkan melalui sekolah (sebut saja diferensiasi pengetahuan itu antara pengetahuan teknis atau sains, dan yang lain: sosial-humaniora) tak kunjung henti. Karakteristik ekonomi industrial yang korporatif memerlukan produksi pengetahuan teknis (tingkat tinggi) untuk menjaga perangkat ekonominya berjalan efektif dan makin canggih dalam memaksimalkan peluang ekspansi ekonominya. Apa yang lebih diperlukan bukan perluasan pengetahuan berstatus tinggi, tetapi memaksimalkan produksi. Akibatnya, kurikulum sekolah sarat dengan pengetahuan teknis dan intelektualistik statis. Sekolah hadir menjadi lembaga industrial yang kaku. Karakter metode mengajarnya menjadi lebih cenderung melatihkan pengetahuan teknis, memompakan pengetahuan isi (content knowledge) yang kadang tidak berpijak pada konteks sosial dan budaya masyarakat.
Singkatnya, paradigma pembelajaran behavioristik memiliki manfaat dalam beberapa hal, namun tidak cukup untuk menjelaskan atau mendasari semua fenomena pembelajaran. Pada kenyataannya, paradigma ini telah dimanfaatkan untuk mendasari hampir semua fenomena pembelajaran sehingga melahirkan kesalahkaprahan dan dampak-dampak lain yang tidak memanusiakan manusia secara utuh.

Paradigma Pembelajaran Konstruktivistik
Konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang mengargumentasikan bahwa manusia membangun makna dari berbagai struktur pengetahuan yang ada pada dirinya. Pada waktu-waktu yang lalu pemikiran konstruktivis tidak dihargai secara luas karena persepsi bahwa anak-anak bermain dipandang tidak bertujuan dan memiliki sedikit manfaat. Dewasa ini, teori konstruktivis sangat berpengaruh khususnya pada sektor pembelajaran informal dan mulai diperkenalkan dalam sektor pembelajaran lainnnya.
Teori konstruktivisme menjelaskan bagaimana pengetahuan diinternalisasikan oleh pembelajar, yaitu melalui dua macam proses, yaitu proses akomodasi dan asimilasi. Ketika seseorang berasimilasi, ia menggabungkan pengalaman baru ke dalam kerangka yang sudah ada tanpa mengubah kerangka tersebut. Di sisi lain, akomodasi adalah proses membuat kerangka ulang pada representasi mental seseorang tentang dunia luar agar bisa sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru yang diterima.
Perlu dipahami bahwa konstruktivisme tidak menganjurkan suatu cara pendidikan tertentu, tetapi menggambarkan bagaimana pembelajaran seharusnya berlangsung, yaitu bahwa pembelajar mengkonstruksi pengetahuan. Konstruktivisme merupakan gambaran kognisi manusia yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang mempromosikan learning by doing.
Dalam kaitan dengan pembelajar, teori konstruktivisme memandang siswa sebagai individu unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik, dan memiliki kepribadian yang kompleks dan multidimensional.  Teori konstruktivisme tidak hanya mengakui keunikan dan kompleksitas pembelajar, tetapi juga mendorong, memanfaatkan, dan menghargainya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.
Teori konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran harus secara bertahap menjadi tanggung jawab pembelajar. Berkaitan dengan motivasi, teori ini menyatakan bahwa motivasi yang berkelanjutan untuk belajar tergantung sungguh pada kepercayaan diri pembelajar pada potensi yang dimilikinya untuk belajar. Perasaan kompeten dan keyakina pada potensi diri untuk memecahkan masalah berasal dari pengalaman langsung mengatasi masalah-masalah di masa lalu dan lebih kuat dibanding pengakuan dan motivasi eksternal. Hal ini terkait dengan konsep Vygotsky yaitu zone of proximal development, yaitu bahwa siswa ditantang dengan suatu masalah yang tingkat kesulitannya mendekati, namun sedikit di atas tingkat perkembangannya yang alami atau aktual. Dengan keberhasilan mengatasi masalah yang menantang tersebut, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi untuk menghadapi masalah yang lebih rumit.
Dalam kaitan dengan guru, pendekatan konstruktivis meletakkan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Terkait dengan asesmen (penilaian), teori konstruktivisme menekankan asesmen dinamik, yaitu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara pengajar dan pembelajar. Dalam hal ini, asesmen dan pembelajaran merupakan proses bertautan dan tidak terpisahkan. Pengetahuan tidak dipandang sebagai pelajaran yang berbeda, tetapi sebagai satu kesatuan yang terpadu. (en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory)
Lebih lanjut, menurut Degeng (2007), paradigma konstrutivistik memiliki ciri khas pokok berupa ketidakaturan, kebebasan dan keragaman. Dalam hal ini, kegagalan atau keberhasilan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama harus dihargai. Tujuan pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata, dan beorientasi pada proses yang mengikuti pandangan pembelajar. Proposisi pembelajaran konstruktivistik adalah bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru; untuk itu, guru dituntut mendorong munculnya diskusi pengetahuan yang dipelajari, mendorong munculnya berpikir divergent, bahwa tidak hanya ada satu jawaban yang benar, mendorong munculnya berbagai jenis luapan pikiran atau aktivitas, menekankan pada keterampilan berpikir kritis dan menggunakan informasi pada situasi baru.
Penerapan paradigma konstruktivistik membawa angin perubahan dunia pendidikan nasional. Pembaruan itu akan berimplikasi amat luas (Kamdi, 2004). Pertama, perubahan visi kurikulum, dari visi kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter. Kurikulum yang fleksibel dan egaliter merupakan strategi untuk membelajarkan dan mengembangkan potensi individu. Kedua, perubahan pada ranah pembelajaran. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan hasil belajar, dan berpikir cerdas dikonsepsikan mencakup "metakognisi" atau kemampuan memonitor belajar dan berpikir sendiri. Ketiga, perubahan strategi dan fungsi penilaian, yang memandang kurikulum sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran sebagai proses fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka penilaian bukan hal yang terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran untuk mendukung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi belajarnya sendiri.

Kebijakan Desentralistik Pendidikan dan kaitannya dengan Paradigma Pembelajaran Konstrutivistik

Kenyataannya, banyak kalangan berpendapat bahwa paradigma pendidikan kita masih dilingkupi oleh berlakunya standar kurikulum dan ujian nasional secara ketat, termasuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ada kalangan bertanya apakah Pemerintah sungguh-sungguh membangun paradigma baru pendidikan nasional untuk keluar dari jebakan teori pendidikan kapitalis-industrialis. Kiranya isu inilah yang perlu mendapat pembahasan pada bagian ini.
Harus diakui (bahkan dimaklumi) bahwa apa yang berlaku dalam sistem pendidikan kita dewasa ini adalah sistem desentralistik dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang sampai tingkat tertentu menyiratkan pesan sentralisasi). Oleh karena itu, pemahaman dasar tentang desentralisai pendidikan, termasuk perumusan kebijakan kurikulum sangat diperlukan, sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Desentralisasi pembuatan keputusan kurikulum di sekolah mengacu pada pengakuan dan pelimpahan wewenang pembuatan keputusan tentang kurikulum kepada guru secara individual atau sebagai tim dalam lingkup sekolah, kecamatan atau kabupaten. Para pembuat kebijakan juga mencakup pimpinan seperti koordinator mata pelajaran, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, kepala sekolah, dan kepala sub dinas kurikulum di tingkat dinas. Ciri khas utama dari sistem pendidikan desentralistik adalah adanya pertumbuhan dan perkembangan internal dari para guru dan sekolah sebagai sebuah masyarakat profesional.
Bentuk desentralisasi yang pertama dalam pembuatan keputusan kurikulum terletak di tangan guru sebagai individu dengan kelas-kelas yang mereka ajarkan. Jadi, pengembangan kurikulum berbasis guru (teacher-based curriculum development) ditandai oleh adanya fokus pada kelas sebagai konteks perencanaan pendidikan dan individu guru sebagai perencananya. Pengembangan kurikulum berbasis guru didasarkan pada kenyataan bahwa gurulah satu-satunya orang yang dapat mengembangkan kurikulum, karena mereka melakukan kontak langsung dengan siswa dan konteks di mana siswa berdiam (ruang kelas) dan belajar. Namun demikian, dalam kenyataannya, sebagian besar guru tidak mempunyai waktu, sumber daya, dan keahlian untuk mengembangkan bahan sendiri, sehingga mereka harus mencari bahan-bahan yang sudah ada atau dipublikasikan. Karena pertimbangan ini, sentral pembuatan dan reformasi kurikulum desentralistik yang paling dianggap logis haruslah berada pada tingkat sekolah atau setingginya pada tingkat kabupaten.
Ada dua kondisi yang memungkinkan pembuatan keputusan kurikulum pada tingkat sekolah atau setidak-tidak tingkat kabupaten untuk berhasil. Yang pertama berkaitan dengan kerjasama dan yang lain manajemen lembaga. Dalam berbagai pengamatan penulis, guru masih menjadi individu terisoler yang dikerangkeng dalam ruang kelas bersama muridnya sekalipun ia sebenarnya bekerja dalam suatu institusi, padahal agar berhasil dalam inovasi dan perubahan, semangat bekerjasama dan komunitas harus dipelihara. Dalam suatu lingkungan kolaboratif, guru dan koordinator mata pelajaran, wakasek kurikulum, dan pengawas mata pelajaran bekerja sama untuk merumuskan tujuan dan proses-proses dalam mengagendakan perubahan dan pembaharuan guru (teacher renewal).
Dari pembahasan tentang pembuatan kebijakan kurikulum desentralistik sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan adalah sentral tempat berlangsungnya inovasi pendidikan dan kurikulum. Sebagai bagian dari sebuah sistem yang besar, nasional, propinsi, atau universitas, lembaga pendidikan (sekolah) adalah pusat. Suatu kurikulum sentralistik (seperti kurikulum dari Jakarta) tetapi diterapkan dengan fleksibel sesungguhnya masih memberi peluang sekolah untuk membagi praktik terbaik (best practices) dengan bermacam-macam cara seperti publikasi profesional, pelatihan, dan proses pembaharuan kurikulum secara informal maupun formal. Jadi, hubungan antara berbagai sekolah sebagai inovator lokal, dan kebijakan-kebijakan terpusat bersifat dialogis dan multi-arah.
Dalam kaitan ini, perlu dipertegas bahwa peran dari berbagai standar pendidikan dan ujian nasional tidak boleh menghambat agenda desentralistik, tetapi semata-mata dihajatkan untuk mewujudkan desentralisasi yang kompetitif dan kompatibel antara satu sekolah dengan sekolah lain, satu daerah dengan daerah lain, antara Indonesia dan negara lain. Di samping itu, agenda standarisasi dan sentralisasi menjadi wahana menyatukan istilah sehingga mempermudah proses pertukaran informasi dan pembelajaran antara satu satuan pendidikan dan daerah dengan yang lain.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)

Ramadhan di musim gugur

RAMADHAN DI MUSIM GUGUR

HJ. IGA WIDARI, SE, M.Pd.

Momen tinggal, berpuasa dan lebaran di negara Kanguru adalah salah satu kenangan terindah dalam hidupku dan keluargaku. Tahun pertama, 1999.  Saat itu, saya dan suami baru saja menikah. Sejak lulus beasiswa pendidikan doktoralnya, aku menyusul suamiku ke Adelaide, Australia. Adelaide merupakan negara bagian Australia. Walau tidak luas, kota ini sangat maju, mungkin karena aku membandingkannya dengan kota kelahiranku di Indonesia. Saat pertama kali aku memasuki kota ini, aku tidak henti-hentinya kagum atas kebesar-Nya. Karena Dialah, aku bisa berada di tempat ini dengan selamat. Kami tinggal di salah satu kawasan pinggir kota atau “suburb”, yaitu Highgate. Di sekitar suburb itu ada berberapa teman keluarga Indonesia. Tapi kalau ditempuh dengan berjalan kaki, cukup jauh juga. Sesekali kami saling mengunjungi untuk bercerita ataupun masak bareng. Waktu itu, aku mengandung putra kami yang pertama, usia kandunganku baru 4 bulan. Hari-hari pertama kujalani dengan baik, aku mampu berkomunikasi walau dalam bahasa Inggris yang sederhana. Awal-awal yang sulit mampu kulewati. Ini karena motivasi dari suami, teman, dan khususnya orang tuaku yang selalu meyakinkan aku, bahwa orang baik akan bisa hidup di manapun. Kata-kata itu selalu menjadi penyemangat dalam hidupku.
Di penghujung tahun 1999, tepatnya 17 Ramadhan, 24 Desember 1999, alhamdulillah putra kami lahir dengan selamat. Hal inilah yang membuatku selalu ingat dengan bulan Ramadhan, momen yang terpenting dalam hidupku, dan aku ingat sepanjang hidupku. Aku kagum dengan suamiku, yang menjalani puasanya sambil mendampingi aku di rumah sakit. Aku makan siang dengan sayur dan nasi, karena kami tidak bisa memakan daging atau ayam yang tidak dibeli di “halal shop”. Bulan Desember di Adelaide waktu itu bertepatan dengan musim panas (summer), dan panasnya hingga 42 derajat. Waah panas sekali kalau di rumah tidak ada AC atau pendingin. Alhamdulillah kami sudah mempersiapkannya jauh sebelum putra kami lahir.
Hari kemenangan datang juga. Seperti rutinitas kita di Indonesia, semua keluarga membeli persiapan untuk menyambut lebaran, seperti baju baru, makanan yang enak dan berkumpul dengan sanak famili. Sehari sebelumnya, kami pergi ke pasar yang lumayan jauh dari tempat  tinggal kami. Lumayanlah, kira-kira menghabiskan waktu setengah jam dengan menggunakan bis. Dengan mendorong kereta bayi, kamipun mulai berbelanja, rasa jenuh di rumah, dengan rutinitas sebagai ibu rumah tangga, seakan-akan hilang setelah sampai dipasar. Kami bertemu dengan teman-teman dari Indonesia, berbagi cerita tentang makanan spesial untuk lebaran ataupun saling mengingatkan undangan untuk  “Garden Party”, setelah shalat nanti. Tak  terasa belanja kamipun penuh. Sampai-sampai putra kamipun tertidur. Aku memeriksa kembali belanjaanku, siapa tahu ada yang terlupa. Uppsss... tenyata aku lupa santan untuk membuat kari ayam. Biasanya ibu-ibu yang ssudah senior, artinya anak-anak mereka ssudah besar, menelponku atau berkunjung ke rumah dan menasehatiku agar tidak masak yang ribet-ribet. Mungkin mereka paham karena putraku Furqan masih berumur satu bulan. Ini yang harus jadi prioritas.
Undangan “Garden Party” kubaca melalui e-mail. Setiap kubaca e-mail tersebut, akupun merasa terhibur. Setiap malam minggu aku menelpon keluargaku di Indonesia. Terkadang berlinang air mataku ketika mereka bertanya ”Ndak pulang lebaran, kita semua ingin ketemu”. Di saat seperti itu, hati ini dilanda home sick, semuanya terbayang di depan mata. Masakan spesial ibu plus es buahnya, senyum ramah dari semua keluarga. Waah kalau ssudah ngumpul, pasti seru. Keluarga dari luar daerahpun ikut berkumpul, menambah semarak suasana. Dari cerita sekolah, perkembangan studi, dan lain-lain. Kudengar suara yang begitu dekat denganku menutup teleponnya. Aku melamun sejenak. Ada rasa sepi, hampa, tapi untunglah perasaan itu bisa kuatasi dengan melihat senyum putra pertamaku yang makin hari, makin besar.
Jam waktu Adelaide menunjukkan pukul 9.15. Saat itu aku menemani suami berbuka puasa untuk malam terakhir, karena besok ssudah lebaran. Setelah membereskan semuanya, akupun mempersiapkan untuk memasak opor ayam kesukaan suamiku.
Hari itu aku bangun lebih pagi dari  biasanya, kupersiapkan sarapan  sekedarnya, lalu mandi. Semua sudah siap untuk berangkat ke masjid. Kami numpang mobil teman suamiku, sedang mobil kami ada gangguan teknis. Mobil Pak Komar, teman suamiku, telah sampai. Sewaktu bekerja di Jakarta, suamiku sudah bersahabat dengan Pak Komar. Istrinyapun sedang studi S3 di Adelaide, jadi mereka bisa bertemu kembali. Kamipun berangkat. Di Adelaide ada 3 masjid, yang paling besar adalah “Arabic Centre and Mosque” yang berada beberapa kilometer dari Underdale, kampus suamiku.
Mobil terus melaju menuju masjid. Saat memasuki halaman masjid, gema takbir berkumandang “Allahuakbar 3x, Lailahaillallah huwallahuakbar. Allahuakbar walillaahilham. Ayat-ayat al-Qur’an terasa menyejukkan hati. Rasa terharu menyelinap dalam hatiku saat itu. Semua orang berbusana rapi, para ibu menggunakan gamis, serasi dengan jilbabnya. Lingkungan masjid yang bersih, tamannya pun tertata  dengan rapi. Ruangan untuk ibu dan anak, toilet untuk laki-laki dan perempuan, semuanya komplit. Ada aneka macam biskuit serta aneka macam minuman yang diletakkan di pekarangn masjid. Tak terasa shalat  ied pun dimulai. Dengan khusuk semua orang berkonsentrasi dengan taujih khatib dalam bahasa Arab dan Inggris. Tak terasa shalatpun selesai. Semua jamaah bersalaman, saling merangkul, dan bermaaf-maafan. Betul-betul momentum yang langka dan terindah dalam hidupku. Di sini aku bisa bertemu dengan teman-teman muslim dari banyak negara, seperti Pakistan, Iran, Turki, Bangladesh, Malaysia dan masih banyak lagi.
Ada juga muslim dari Jepang yang merasa senasib (perantau), sehingga perasaan yang muncul adalah keinginan untuk igin bertemu di hari-hari yang lain. Biasanya suami mengajakku ke masjid setiap hari Jum’at. Karena biasanya ada banyak ibu-ibu yang hanya mampir untuk menemani suami ataupun yang shalat, dari Indonesia maupun dari negara-negara lain. Ini merupakan salah satu cara sumiku agar aku tidak sedih lagi. Kalau sudah ketemu dengan teman-teman rasanya seperti di Indonesia. Ini salah satu komentar dari beberapa ibu-ibu yang kutemui.
Tahun kedua, kami berlebaran di Indonesia karena saat-saat itu suamiku kebetulan mengadakan riset di Lombok-NTB selama 8 bulan. Tentunya keluaga sangat senang. Aku bercerita banyak hal tentang suasana lebaran di Aussie. Mereka membayangkan bisa seperti kami. Waktu begitu cepat berlalu. Dan kami harus kembali ke Adelaide.
Pada tahun ketiga, aku merencanakan untuk bekerja di perusahaan. Dan Alhamdulillah setelah 3 bulan kutunggu, akhirnya lamaranku pun terjawab dan aku diterima bekerja. Selama kami tinggal di Aussie, Ramadhan kami jalani selalu bersamaan dengan “summer”. Tapi Alhamdulillah kami bisa menjalaninya dengan lancar. Ini mungkin karena kami selalu beraktivitas. Selama aku bekerja, kutitipkan putraku di “Playgroup”, dekat kampus suamiku.  Sejak aku bekerja, teman-temankupun bertambah banyak. Kalau kami off atau tidak bekerja, kami sering mencoba resep-resep baru, dengan membuat jadwal secara bergantian.
Tahun ini lebaran dirayakan bersamaan bulannya dengan perayaan “Christmas” bagi umat  Kristiani. Bagi umat muslim yang saling menghargai dan saling menghormati perbedaan kepercayaan, kami tidak menutup diri, artinya kami bergaul dengan siapa saja. Alhamdulillah teman kerjakupun (mayoritas Nasrani dan dan dominasi penduduk Australia) mampu menghargai kami. Bahkan tidak disangka mereka juga tahu kalau kami berpuasa 30 hari, dan setelah itu akan datang hari kemenangan.Merekapun tahu dan kadang bertanya tentang Islam. Siang itu udara sangat panas, tapi kami tetap berpuasa walau sedang bekerja sampai jam 2 yang dimulai sejak jam 6 pagi. Alhamdullah manejer perusahaan kami paham kalau kami sedang berpuasa.
Salah satu bentuk adanya saling menghargai antara kami adalah pada saat kami diundang untuk merayakan Christmas atau natal bersama di perusahaan. Saat  yang sama kami sedang menjalankan ibadah puasa. Tidak ada suatu keharusan kami harus datang ke acara tersebut. Mereka mengharagai keputusan yang kami ambil, tanpa ada rasa tersinggung atau kesal. Biasanya kalau perayaan seperti inipun, jenis makanannya ada yang vegetarian dan “seafood”, makanan yang biasa kami makan. Karena tidak semua jenis makanan yang bisa kami konsumsi, kami boleh mengkonsumsi masakan ayam dan daging jika dibeli di “Halal Shop”.
Lebaran tahun ini agak berbeda dari tahun sebelumnya, karena sekarang putra kami sudah besar (kurang lebih 3 tahun), diapun sudah pandai shalat. Dengan lucunya ia meniru gerakan shalat kami, sepertinya diapun sangat senang. Bangunan “Arabic Centre & Mosque” yang megah dengan kaligrafi di tengah-tengah mimbar. Dulu, waktu kami tinggal di Highgate, dekat dengan kota, tapi jauh dari kampus suamiku. Makanya setelah kami kembali dari Indonesia, kami memutuskan untuk menyewa “flat” yang dekat dengan kampus, dekat dengan bandara, dan kebetulan dekat juga dengan “Asian Grocery” dan “pizza halal”.
Di Adelaide, kami mempunyai perkumpulan masyarakat muslim Indonesia se-Australia Selatan (MIIAS), melalui e-mail diinformasikan bahwa ada acara halal bi halal sekaligus makan siang di “Botanical Garden”. Rasanya sudah tidak sabar ingin mencicipi menu-menu Nusantara. Kali ini, lebaran yang kami jalani berbeda dengan tahun sebelumnya. Sekarang kami lebih menikmati kebersamaan kami seperti di Indonesia. Semalam aku sudah memasak kari ayam, sambal goreng daging dan krupuk. Oh ya, untuk acara halal-bihalal, biasanya ibu-ibu sudah pesan dua hari sebelumnya, agar aku buat lemper. “Itu khan masakan Bu Iwan, bawa nanti ya”, canda bu Sugeng, teman suamiku yang mengambil  S2-nya. Biasanyanya, kalau acara ngumpul-ngumpulseperti itu, ibu-ibu membawa masakan khas daerahnya masing-masing, misalanya rendang (masakan Padang), soto Banjar, coto Makasar, gudeg Jogja, empek-empek Palembang, bakso, sate dan lain-lain. Jadilah serangkaian masakan Nusantara. Siang itu udara sangat cerah. Kami telah sampai di “Botanical  Garden”, teman-teman sudah menunggu, semua berwajah ceria. Acara berjalan dengan santai. Tak terasa hari menjelang sore. Biasanya saat pulang ibu-ibu sibuk mengatur hidangan sambil tukar-tukar masakan, semua kebagian walau sekedar es buah. Ku ingat waktu itu aku hanya kebagian soto Banjar. Yach jadinya seperti ada di Banjar nich, candaku pada Mbak Tuti yang kelahiran Banjarmasin. Ternyata lemper Lombok buatanku pun laris manis. Tak lama setelah kami sampai di rumah, tamupun berdatangan, teman Indonesia yang tidak sempat hadir di acara siang itu. Biasanya kalau kami berkunjung ke rumah teman, tidak lupa kami membawa snack, yach sekedar oleh-oleh untuk tuan rumah. Dan biasanya, kalau teman tersebut kebetulan membuat menu yang spesial, kamipun ditawarkan untuk mencicipinya, “wah barter” dong, inilah situasinya, yang mungkin bia dikatakan telah menjadi tradisi.
Kini enam tahun berlalu, aku dan suami sedang mengemban tugas berat, merintis sebuah peradaban baru di salah satu pulau di Nusa Tenggara Barat. Kenangan dan pengalaman berharga di negeri Kanguru menjadi catatan-catatan penyemangat yang kami sampaikan kepada para mahasiswa kami di kampus yang dibangun oleh suamiku bersama teman-temannya, termasuk aku. Mudah-mudahan anak-anak negeri yang kami bina kelak bisa mengecap pengalaman-pengalaman internasional. Amiin. 
(Refleksi updated 14 September 2009)

Bunda (top) bersama suami (bottom)



Bersama suami wujudkan cita


BERSAMA SUAMI, WUJUDKAN CITA

HJ. IGA WIDARI, SE, M.Pd.

“Hari ini lebih baik daripada hari kemarin, dan hari esok lebih baik daripada hari ini.” Kesuksesan seseorang berangkat dari kemauan  dirinya dan bukan siapa-siapa. Meski tidak terbilang muda lagi dan pasti membutuhkan banyak pengorbanan, aku merasa harus terus berjuang untuk mencapai kesuksesan dan prestasi baru. Aku berusaha terus membangun semangat dan tidak pernah menyerah. Sepenggal kalimat di atas selalu memotivasiku untuk terus berbuat sesuai kemampuan.

Aku mengawali kisah ini dengan pengalamanku menerima keputusan bersama untuk tinggal di  Sumbawa, sebuah kabupaten di Pulau Sumbawa, untuk medampingi tugas baru suami menjadi anggota DPRD di sana. Ini sesuatu yang berat aku pikirkan sebelumnya. Secara psikologis aku tidak siap sebenarnya. Kami baru saja pulang ke tanah air karena aku menemani suamiku di luar negeri selama kurang lebih empat tahun. Dan dengan sisa tabungan yang ada, alhamdulillah kami bisa membeli sebuah rumah di Mataram, ibukota Propinsi NTB, tempat kami sebelumnya bermukim. Ya, lumayanlah untuk kami bertiga dan anak dalam kandunganku saat itu. Sebulan setelah kami membelinya, anak kedua kami pun lahir.

Genap satu tahun kami menempati rumah baru, suamiku menerima tawaran untuk bergabung dengan salah satu parpol dan ditunjuk menjadi salah satu calon anggota legislatif waktu itu.Aku tidak sanggup menahan cita-citanya yang mulia, yang sudah sekian lama ia dambakan, yaitu untuk secara langsung menyumbangkan ilmu dan  keahlian kepada rakyat di kampung halamannya. Teman-teman alumni yang ada di luar negeri maupun yang di ibu kota mendukung sepenuhnya, sekalipun ada juga yang sempat heran, dengan pilihannya untuk pulang kampung. Maklum seorang doktor lulusan luar negeri biasanya memilih tinggal di ibukota negara, atau kota-kota besar untuk pengembangan profesinya. Walhasil, suamiku ikut kampanye yang begitu panjang dan dengan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit ternyata membuahkan hasil, alhamdulillah. Aku menangis  terharu, walau aku sendiri tidak tahu apa arti tangisku saat itu.

Tahun pertama di Sumbawa, sungguh ini adalah awal-awal yang sulit, karena aku baru partama kali menginjakkan kaki di daerah ini. Sebuah transisi yang butuh kesabaran. Ketika anak pertamaku mulai sekolah di Taman Kanak-Kanak, saat itulah aku punya banyak teman.Ternyata tidak sulit beradaptasi, maklum aku lahir dan besar di Lombok, sementara keluarga besar suamiku yang banyak di Sumbawa. Teman lembaga dakwah pun mengajakku untuk ikut pengajian rutin sekali seminggu. Aku pun mulai bisa ikut kegiatan-kegiatan Rukun Tetangga, seperti arisan, pengajian dan lain-lain. Aku memiliki kebahagiaan dengan rutinitas baruku. Benar-benar di sini aku merasakan kemandirian, jauh dari keluarga besarku. Adaptasi bukan hanya pada diriku, tetapi juga anak-anak dan suamiku dengan pekerjaan barunya. Aktivitasnya seabrek, karena selain menjadi anggota DPRD dan aktivis partai, ia juga memimpin beberapa organisasi sosial, menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi, pembicara di berbagai pertemuan dari tingkat informal di kampung hingga yang formal di kantor dan kampus. Tentu ini mempersempit waktunya untuk keluarga. Belum lagi kalau ada kunjungan kerja ke luar daerah, untuk beberapa hari, sampai-sampai anak-anak sering bertanya kenapa sich daddy pergi-pergi terus. Dengan arif aku yakinkan mereka kalau daddy keluar untuk hal-hal yang baik, khan ada mommy, jawabku agar mereka tidak komplain lagi. Awalnya ini sangat sulit buatku. Walau butuh waktu, aku bisa mengatasi perasaanku. Duh, seandainya aku tidak punya selingan rutinitas dengan aktif di kelompok pengajian, mungkin hari-hariku akan terasa membosankan.

Sebuah cita-cita yang tertunda tiba-tiba terlintas dalam benakku untuk meng-upgrade pendidikan. Kebetulan ada program Akta-IV yang dibuka sebuah perguruan tinggi setempat dan aku pun mengikutinya. Suamiku mendukung sepenuhnya; dia bilang ”tidak usah ada target apa-apa, jalani saja dulu.” Tidak terasa waktu terus berlalu, dan aku bisa menyelesaikannya dengan baik. Menginjak tahun kedua, sesuatu yang lama diidamkan, suamiku berencana membangun universitas swasta, berangkat dari kondisi daerah dan keinginan dari teman-teman parpol dan masyarakat konstituennya. Ini sesuatu yang tidak gampang dan bagai mimpi.

Akhirnya, cita-cita itupun terwujud, meski kampus kami belum memiliki gedung sendiri dan masih merupakan program kemitraan dengan beberapa perguruan tinggi terakreditasi di Lombok. Insya Allah, perguruan tinggi ini akan berkembang ke depan. Di tahun pertamanya, 750 mahasiswa terdaftar pada 10 program studi. Akupun ikut juga menjadi bagian dari universitas baru ini. Aku menjadi bendahara yayasan sekaligus sebagai dosen di Prodi Pendidikan Ekonomi. Untuk mendukung karirku sebagai dosen, saat ini aku sedang mengikuti program pasca sarjana (S2), yang merupakan kerja sama kampus kami dengan salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya. Selain itu, aku dan suami masih menyempatkan diri mengajar les bahasa Inggris di rumah untuk anak-anak SD, SMP, SMA dan juga untuk persiapan TOEFL, sebagai salah satu program PKBM yang kami kelola sendiri. ”Agar tetap dekat anak-anak dan untuk mengasah teori-teori yang kita punya,” kata suamiku, dan aku pikir juga begitu.

Rutinitas sebagai ibu rumah tangga dari pagi hingga sore tetap bisa kujalani. Anak-anak pun sudah tidak rewel lagi bila sekali-kali  kutinggal di rumah. Pertemuan dengan anak-anak tidak penting kuantitas pertemuannya, yang penting kualitasnya. Itu yang pernah aku kutip dari sebuah majalah muslimah.Ya Allah... moga semua ini akan ada hikmahnya di masa yang akan datang. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit kami dapat ilmu baru dari semua ini. Satu jawaban yang kutemukan,  ”Tanpa dorongan suamiku, mungkin aku sulit untuk memulai semuanya, terima kasih sayang....”
(Refleksi updated 24 Mei 2007)