Sabtu, 12 Mei 2012

Paradigma Pembelajaran: Behavioristik vs. Konstruktivistik


PARADIGMA PEMBELAJARAN:
BEHAVIORISTIK VS. KONSTRUKTIVISTIK DAN IMPLIKASINYA

HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa 

Pendidikan di Indonesia selama berpuluh-puluh tahun sejak kemerdekaan masih memiliki ciri-ciri yang sangat behavioristik. Namun demikian, sejak bergulirnya reformasi pada penghujung dekade 90-an, tuntunan perubahan paradigma pendidikan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai konsekuensinya, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, yang mengakomodasi prinsip-prinsip otonomi pendidikan, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kebijakan lainnya yang mengakomodasi keragaman dan fleksibilitas, atau dengan kata lain mengakomodasi paradigma konstruktivisme dalam pendidikan.
Permasalahannya adalah di tingkat persepsi publik dan khususnya persepsi para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan tentang sejauh mana perubahan tersebut terjadi dan dirasakan. Publik pengguna dan peduli pendidikan khususnya sebagian pihak yang awam secara teknis keilmuan pendidikan umumnya hanya bisa mengalami perlakukan kebijakan dan merasakan dampaknya (bahwa perubahan tidak sungguh-sungguh ada dalam kenyataan), tetapi tidak bisa menunjukkan bukti-bukti secara empiris, apalagi akademis, di mana letak masalah yang sesungguhnya. Bahkan, bukan hanya kalangan publik luas, para guru pun masih banyak bertanya, jika benar-benar paradigma pembelajaran konstruktivistik diberlakukan, mengapa cara-cara lama seperti ujian nasional masih tetap ada, mengapa para pengawas mata pelajaran hanya menanyakan kelengkapan administrasi pembelajaran dan ketuntasan kurikulum, bukan pada proses pembelajaran dan penguasaan oleh siswa. Pertanyaan-pertanyaan serupa terus bermunculan, yang secara umum bermuara pada pesimisme terhadap perubahan dan peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
Tulisan ini berusaha mengupas beberapa tema sentral: (a) paradigma pembelajaran behavioristik dan konstrutivistik beserta contoh implementasinya di lapangan, (b) bagaimana kaitan kedua paradigma ini dengan kebijakan desentralistik dalam sistem pendidikan kita.

Paradigma Pembelajaran Behavioristik
Teori pembelajaran behavioristik mencari penjelasan-penjelasan dari tingkah laku yang sederhana yang dapat didemonstrasikan secara ilmiah.oleh karena itu, dan arena manusia dianggap menyerupai mesin, penjelasan behavioristik cenderung agak bersifat mekanis. Teori ini memanfaatkan dua kategori penjelasan tentang pembelajaran, yaitu penjelasan berdasarkan pada perilaku stimulus dan respon, dan penjelasan berdasarkan akibat dari tingkah laku yaitu penguatan dan hukuman (reinforcement and punishment).
Beberapa prinsip dari teori behavioristik adalah sebagai berikut:
o pengulangan
o tugas secara berurutan dari hal-hal yang kecil dan konkret
o penguatan positif dan negatif
o konsistensi dalam penggunaan penguat selama proses belajar mengajar
o kebiasaan dan respon yang tidak diharapkan dapat dihancurkan dengan menghilangkan penguat positif yang terhubung pada mereka
o penguatan yang cepat, konsisten dan positif meningkatkan kecepatan pembelajaran
o ketika suatu item dipelajari, penguatan yang diberikan akan memperkuat daya ingat
Selama bertahun-tahun, konsep-konsep ini mendasari sebagian besar teori yang diterapkan dalam pendidikan anak dan dalam kelas pada umumnya. Orang tua dan guru masih menemukan bahwa dalam banyak hal siswa dapat belajar ketika disediakan dengan campuran yang cocok antara stimulus, ganjaran, penguatan negative dan hukuman. Khususnya dengan anak-anak kecil dan tugas-tugas yang lebih sederhana, prinsip-prinsip behavioral sering efektif.
Namun demikian, pada akhirnya, para pendidikan mulai merasakan bahwa walaupun stimulus-respon dapat menjelaskan banyak tingkah laku manusia dan memiliki tempat yang kuat dalam pengajaran, behaviorisme sendiri dianggap tidak cukup untuk menerangkan fenomena dalam proses pembelajaran. Untuk mengatasi ruang-ruang kesenjangan inilah, pendekatan kognitif atau konstruktivisme mulai mendapatkan tempatnya. 
Dalam praktik pendidikan di sekolah, menurut Degeng (2007), pembelajaran behavioristik menekankan pada keteraturan, bahwa pembelajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas ditetapkan lebih dulu secara ketat dan disiplin merupakan sesuatu yang sangat pokok. Kegagalan dalam melaksanakan aturan merupakan kesalahan yang harus dihukum karena ketaatan kepada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Dengan demikian, kontrol belajar dipegang oleh sistem di luar diri pembelajar. Tujuan pembelajaran behavioristik adalah penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah belajar apabila mampu mengungkapkan kembali yang telah dipelajari. dalam realita, pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak terkait dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari),mengikuti urutan kurikulum yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan pada hasil. Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus berupa satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses belajar.
Terbingkai dalam paradigma behavioristik, menurut Kamdi (2004), sekolah-sekolah di negeri kita dibangun di bawah substruktur industri dan dunia usaha, termasuk mengikuti sistem kolonial Belanda di mana sekolah semata-mata untuk melahirkan tenaga untuk menjadi pegawai pemerintahan dan perusahaan kolonial. Sekolah-sekolah menjadi instrumen produksi ekonomi dan politik. Akibatnya, di sekolah terjadi diferensiasi pengetahuan. Debat isu soal jenis pengetahuan apa yang penting dikembangkan melalui sekolah (sebut saja diferensiasi pengetahuan itu antara pengetahuan teknis atau sains, dan yang lain: sosial-humaniora) tak kunjung henti. Karakteristik ekonomi industrial yang korporatif memerlukan produksi pengetahuan teknis (tingkat tinggi) untuk menjaga perangkat ekonominya berjalan efektif dan makin canggih dalam memaksimalkan peluang ekspansi ekonominya. Apa yang lebih diperlukan bukan perluasan pengetahuan berstatus tinggi, tetapi memaksimalkan produksi. Akibatnya, kurikulum sekolah sarat dengan pengetahuan teknis dan intelektualistik statis. Sekolah hadir menjadi lembaga industrial yang kaku. Karakter metode mengajarnya menjadi lebih cenderung melatihkan pengetahuan teknis, memompakan pengetahuan isi (content knowledge) yang kadang tidak berpijak pada konteks sosial dan budaya masyarakat.
Singkatnya, paradigma pembelajaran behavioristik memiliki manfaat dalam beberapa hal, namun tidak cukup untuk menjelaskan atau mendasari semua fenomena pembelajaran. Pada kenyataannya, paradigma ini telah dimanfaatkan untuk mendasari hampir semua fenomena pembelajaran sehingga melahirkan kesalahkaprahan dan dampak-dampak lain yang tidak memanusiakan manusia secara utuh.

Paradigma Pembelajaran Konstruktivistik
Konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang mengargumentasikan bahwa manusia membangun makna dari berbagai struktur pengetahuan yang ada pada dirinya. Pada waktu-waktu yang lalu pemikiran konstruktivis tidak dihargai secara luas karena persepsi bahwa anak-anak bermain dipandang tidak bertujuan dan memiliki sedikit manfaat. Dewasa ini, teori konstruktivis sangat berpengaruh khususnya pada sektor pembelajaran informal dan mulai diperkenalkan dalam sektor pembelajaran lainnnya.
Teori konstruktivisme menjelaskan bagaimana pengetahuan diinternalisasikan oleh pembelajar, yaitu melalui dua macam proses, yaitu proses akomodasi dan asimilasi. Ketika seseorang berasimilasi, ia menggabungkan pengalaman baru ke dalam kerangka yang sudah ada tanpa mengubah kerangka tersebut. Di sisi lain, akomodasi adalah proses membuat kerangka ulang pada representasi mental seseorang tentang dunia luar agar bisa sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru yang diterima.
Perlu dipahami bahwa konstruktivisme tidak menganjurkan suatu cara pendidikan tertentu, tetapi menggambarkan bagaimana pembelajaran seharusnya berlangsung, yaitu bahwa pembelajar mengkonstruksi pengetahuan. Konstruktivisme merupakan gambaran kognisi manusia yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang mempromosikan learning by doing.
Dalam kaitan dengan pembelajar, teori konstruktivisme memandang siswa sebagai individu unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik, dan memiliki kepribadian yang kompleks dan multidimensional.  Teori konstruktivisme tidak hanya mengakui keunikan dan kompleksitas pembelajar, tetapi juga mendorong, memanfaatkan, dan menghargainya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.
Teori konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran harus secara bertahap menjadi tanggung jawab pembelajar. Berkaitan dengan motivasi, teori ini menyatakan bahwa motivasi yang berkelanjutan untuk belajar tergantung sungguh pada kepercayaan diri pembelajar pada potensi yang dimilikinya untuk belajar. Perasaan kompeten dan keyakina pada potensi diri untuk memecahkan masalah berasal dari pengalaman langsung mengatasi masalah-masalah di masa lalu dan lebih kuat dibanding pengakuan dan motivasi eksternal. Hal ini terkait dengan konsep Vygotsky yaitu zone of proximal development, yaitu bahwa siswa ditantang dengan suatu masalah yang tingkat kesulitannya mendekati, namun sedikit di atas tingkat perkembangannya yang alami atau aktual. Dengan keberhasilan mengatasi masalah yang menantang tersebut, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi untuk menghadapi masalah yang lebih rumit.
Dalam kaitan dengan guru, pendekatan konstruktivis meletakkan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Terkait dengan asesmen (penilaian), teori konstruktivisme menekankan asesmen dinamik, yaitu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara pengajar dan pembelajar. Dalam hal ini, asesmen dan pembelajaran merupakan proses bertautan dan tidak terpisahkan. Pengetahuan tidak dipandang sebagai pelajaran yang berbeda, tetapi sebagai satu kesatuan yang terpadu. (en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory)
Lebih lanjut, menurut Degeng (2007), paradigma konstrutivistik memiliki ciri khas pokok berupa ketidakaturan, kebebasan dan keragaman. Dalam hal ini, kegagalan atau keberhasilan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama harus dihargai. Tujuan pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata, dan beorientasi pada proses yang mengikuti pandangan pembelajar. Proposisi pembelajaran konstruktivistik adalah bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru; untuk itu, guru dituntut mendorong munculnya diskusi pengetahuan yang dipelajari, mendorong munculnya berpikir divergent, bahwa tidak hanya ada satu jawaban yang benar, mendorong munculnya berbagai jenis luapan pikiran atau aktivitas, menekankan pada keterampilan berpikir kritis dan menggunakan informasi pada situasi baru.
Penerapan paradigma konstruktivistik membawa angin perubahan dunia pendidikan nasional. Pembaruan itu akan berimplikasi amat luas (Kamdi, 2004). Pertama, perubahan visi kurikulum, dari visi kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter. Kurikulum yang fleksibel dan egaliter merupakan strategi untuk membelajarkan dan mengembangkan potensi individu. Kedua, perubahan pada ranah pembelajaran. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan hasil belajar, dan berpikir cerdas dikonsepsikan mencakup "metakognisi" atau kemampuan memonitor belajar dan berpikir sendiri. Ketiga, perubahan strategi dan fungsi penilaian, yang memandang kurikulum sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran sebagai proses fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka penilaian bukan hal yang terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran untuk mendukung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi belajarnya sendiri.

Kebijakan Desentralistik Pendidikan dan kaitannya dengan Paradigma Pembelajaran Konstrutivistik

Kenyataannya, banyak kalangan berpendapat bahwa paradigma pendidikan kita masih dilingkupi oleh berlakunya standar kurikulum dan ujian nasional secara ketat, termasuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ada kalangan bertanya apakah Pemerintah sungguh-sungguh membangun paradigma baru pendidikan nasional untuk keluar dari jebakan teori pendidikan kapitalis-industrialis. Kiranya isu inilah yang perlu mendapat pembahasan pada bagian ini.
Harus diakui (bahkan dimaklumi) bahwa apa yang berlaku dalam sistem pendidikan kita dewasa ini adalah sistem desentralistik dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang sampai tingkat tertentu menyiratkan pesan sentralisasi). Oleh karena itu, pemahaman dasar tentang desentralisai pendidikan, termasuk perumusan kebijakan kurikulum sangat diperlukan, sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Desentralisasi pembuatan keputusan kurikulum di sekolah mengacu pada pengakuan dan pelimpahan wewenang pembuatan keputusan tentang kurikulum kepada guru secara individual atau sebagai tim dalam lingkup sekolah, kecamatan atau kabupaten. Para pembuat kebijakan juga mencakup pimpinan seperti koordinator mata pelajaran, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, kepala sekolah, dan kepala sub dinas kurikulum di tingkat dinas. Ciri khas utama dari sistem pendidikan desentralistik adalah adanya pertumbuhan dan perkembangan internal dari para guru dan sekolah sebagai sebuah masyarakat profesional.
Bentuk desentralisasi yang pertama dalam pembuatan keputusan kurikulum terletak di tangan guru sebagai individu dengan kelas-kelas yang mereka ajarkan. Jadi, pengembangan kurikulum berbasis guru (teacher-based curriculum development) ditandai oleh adanya fokus pada kelas sebagai konteks perencanaan pendidikan dan individu guru sebagai perencananya. Pengembangan kurikulum berbasis guru didasarkan pada kenyataan bahwa gurulah satu-satunya orang yang dapat mengembangkan kurikulum, karena mereka melakukan kontak langsung dengan siswa dan konteks di mana siswa berdiam (ruang kelas) dan belajar. Namun demikian, dalam kenyataannya, sebagian besar guru tidak mempunyai waktu, sumber daya, dan keahlian untuk mengembangkan bahan sendiri, sehingga mereka harus mencari bahan-bahan yang sudah ada atau dipublikasikan. Karena pertimbangan ini, sentral pembuatan dan reformasi kurikulum desentralistik yang paling dianggap logis haruslah berada pada tingkat sekolah atau setingginya pada tingkat kabupaten.
Ada dua kondisi yang memungkinkan pembuatan keputusan kurikulum pada tingkat sekolah atau setidak-tidak tingkat kabupaten untuk berhasil. Yang pertama berkaitan dengan kerjasama dan yang lain manajemen lembaga. Dalam berbagai pengamatan penulis, guru masih menjadi individu terisoler yang dikerangkeng dalam ruang kelas bersama muridnya sekalipun ia sebenarnya bekerja dalam suatu institusi, padahal agar berhasil dalam inovasi dan perubahan, semangat bekerjasama dan komunitas harus dipelihara. Dalam suatu lingkungan kolaboratif, guru dan koordinator mata pelajaran, wakasek kurikulum, dan pengawas mata pelajaran bekerja sama untuk merumuskan tujuan dan proses-proses dalam mengagendakan perubahan dan pembaharuan guru (teacher renewal).
Dari pembahasan tentang pembuatan kebijakan kurikulum desentralistik sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan adalah sentral tempat berlangsungnya inovasi pendidikan dan kurikulum. Sebagai bagian dari sebuah sistem yang besar, nasional, propinsi, atau universitas, lembaga pendidikan (sekolah) adalah pusat. Suatu kurikulum sentralistik (seperti kurikulum dari Jakarta) tetapi diterapkan dengan fleksibel sesungguhnya masih memberi peluang sekolah untuk membagi praktik terbaik (best practices) dengan bermacam-macam cara seperti publikasi profesional, pelatihan, dan proses pembaharuan kurikulum secara informal maupun formal. Jadi, hubungan antara berbagai sekolah sebagai inovator lokal, dan kebijakan-kebijakan terpusat bersifat dialogis dan multi-arah.
Dalam kaitan ini, perlu dipertegas bahwa peran dari berbagai standar pendidikan dan ujian nasional tidak boleh menghambat agenda desentralistik, tetapi semata-mata dihajatkan untuk mewujudkan desentralisasi yang kompetitif dan kompatibel antara satu sekolah dengan sekolah lain, satu daerah dengan daerah lain, antara Indonesia dan negara lain. Di samping itu, agenda standarisasi dan sentralisasi menjadi wahana menyatukan istilah sehingga mempermudah proses pertukaran informasi dan pembelajaran antara satu satuan pendidikan dan daerah dengan yang lain.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar