BERSAMA SUAMI, WUJUDKAN CITA
HJ. IGA WIDARI, SE, M.Pd.
“Hari ini lebih baik daripada hari kemarin, dan hari esok lebih baik daripada hari ini.” Kesuksesan seseorang berangkat dari kemauan dirinya dan bukan siapa-siapa. Meski tidak terbilang muda lagi dan pasti membutuhkan banyak pengorbanan, aku merasa harus terus berjuang untuk mencapai kesuksesan dan prestasi baru. Aku berusaha terus membangun semangat dan tidak pernah menyerah. Sepenggal kalimat di atas selalu memotivasiku untuk terus berbuat sesuai kemampuan.
Aku mengawali kisah
ini dengan pengalamanku menerima keputusan bersama untuk tinggal di Sumbawa, sebuah kabupaten di Pulau Sumbawa,
untuk medampingi tugas baru suami menjadi anggota DPRD di sana. Ini sesuatu
yang berat aku pikirkan sebelumnya. Secara psikologis aku tidak siap sebenarnya.
Kami baru saja pulang ke tanah air karena aku menemani suamiku di luar negeri
selama kurang lebih empat tahun. Dan dengan sisa tabungan yang ada,
alhamdulillah kami bisa membeli sebuah rumah di Mataram, ibukota Propinsi NTB,
tempat kami sebelumnya bermukim. Ya, lumayanlah untuk kami bertiga dan anak
dalam kandunganku saat itu. Sebulan setelah kami membelinya, anak kedua kami pun
lahir.
Genap satu tahun
kami menempati rumah baru, suamiku menerima tawaran untuk bergabung dengan
salah satu parpol dan ditunjuk menjadi salah satu calon anggota legislatif
waktu itu.Aku tidak sanggup menahan cita-citanya yang mulia, yang sudah sekian
lama ia dambakan, yaitu untuk secara langsung menyumbangkan ilmu dan keahlian kepada rakyat di kampung halamannya.
Teman-teman alumni yang ada di luar negeri maupun yang di ibu kota mendukung
sepenuhnya, sekalipun ada juga yang sempat heran, dengan pilihannya untuk
pulang kampung. Maklum seorang doktor lulusan luar negeri biasanya memilih
tinggal di ibukota negara, atau kota-kota besar untuk pengembangan profesinya.
Walhasil, suamiku ikut kampanye yang begitu panjang dan dengan perjuangan dan
pengorbanan yang tidak sedikit ternyata membuahkan hasil, alhamdulillah. Aku
menangis terharu, walau aku sendiri
tidak tahu apa arti tangisku saat itu.
Tahun pertama di Sumbawa,
sungguh ini adalah awal-awal yang sulit, karena aku baru partama kali menginjakkan
kaki di daerah ini. Sebuah transisi yang butuh kesabaran. Ketika anak pertamaku
mulai sekolah di Taman Kanak-Kanak, saat itulah aku punya banyak teman.Ternyata
tidak sulit beradaptasi, maklum aku lahir dan besar di Lombok, sementara keluarga
besar suamiku yang banyak di Sumbawa. Teman lembaga dakwah pun mengajakku untuk
ikut pengajian rutin sekali seminggu. Aku pun mulai bisa ikut kegiatan-kegiatan
Rukun Tetangga, seperti arisan, pengajian dan lain-lain. Aku memiliki kebahagiaan
dengan rutinitas baruku. Benar-benar di sini aku merasakan kemandirian, jauh
dari keluarga besarku. Adaptasi bukan hanya pada diriku, tetapi juga anak-anak
dan suamiku dengan pekerjaan barunya. Aktivitasnya seabrek, karena selain
menjadi anggota DPRD dan aktivis partai, ia juga memimpin beberapa organisasi
sosial, menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi, pembicara di berbagai
pertemuan dari tingkat informal di kampung hingga yang formal di kantor dan
kampus. Tentu ini mempersempit waktunya untuk keluarga. Belum lagi kalau ada
kunjungan kerja ke luar daerah, untuk beberapa hari, sampai-sampai anak-anak sering
bertanya kenapa sich daddy
pergi-pergi terus. Dengan arif aku yakinkan mereka kalau daddy keluar untuk hal-hal yang baik, khan ada mommy, jawabku agar mereka tidak komplain lagi. Awalnya ini sangat
sulit buatku. Walau butuh waktu, aku bisa mengatasi perasaanku. Duh, seandainya
aku tidak punya selingan rutinitas dengan aktif di kelompok pengajian, mungkin
hari-hariku akan terasa membosankan.
Sebuah cita-cita
yang tertunda tiba-tiba terlintas dalam benakku untuk meng-upgrade pendidikan. Kebetulan ada program Akta-IV yang dibuka
sebuah perguruan tinggi setempat dan aku pun mengikutinya. Suamiku mendukung
sepenuhnya; dia bilang ”tidak usah ada target apa-apa, jalani saja dulu.” Tidak
terasa waktu terus berlalu, dan aku bisa menyelesaikannya dengan baik. Menginjak
tahun kedua, sesuatu yang lama diidamkan, suamiku berencana membangun
universitas swasta, berangkat dari kondisi daerah dan keinginan dari
teman-teman parpol dan masyarakat konstituennya. Ini sesuatu yang tidak gampang
dan bagai mimpi.
Akhirnya,
cita-cita itupun terwujud, meski kampus kami belum memiliki gedung sendiri dan
masih merupakan program kemitraan dengan beberapa perguruan tinggi
terakreditasi di Lombok. Insya Allah, perguruan tinggi ini akan berkembang ke
depan. Di tahun pertamanya, 750 mahasiswa terdaftar pada 10 program studi. Akupun
ikut juga menjadi bagian dari universitas baru ini. Aku menjadi bendahara
yayasan sekaligus sebagai dosen di Prodi Pendidikan Ekonomi. Untuk mendukung
karirku sebagai dosen, saat ini aku sedang mengikuti program pasca sarjana
(S2), yang merupakan kerja sama kampus kami dengan salah satu perguruan tinggi
swasta di Surabaya. Selain itu, aku dan suami masih menyempatkan diri mengajar
les bahasa Inggris di rumah untuk anak-anak SD, SMP, SMA dan juga untuk
persiapan TOEFL, sebagai salah satu program PKBM yang kami kelola sendiri.
”Agar tetap dekat anak-anak dan untuk mengasah teori-teori yang kita punya,”
kata suamiku, dan aku pikir juga begitu.
Rutinitas sebagai
ibu rumah tangga dari pagi hingga sore tetap bisa kujalani. Anak-anak pun sudah
tidak rewel lagi bila sekali-kali kutinggal
di rumah. Pertemuan dengan anak-anak tidak penting kuantitas pertemuannya, yang
penting kualitasnya. Itu yang pernah aku kutip dari sebuah majalah muslimah.Ya
Allah... moga semua ini akan ada hikmahnya di masa yang akan datang. Alhamdulillah,
sedikit demi sedikit kami dapat ilmu baru dari semua ini. Satu jawaban yang
kutemukan, ”Tanpa dorongan suamiku,
mungkin aku sulit untuk memulai semuanya, terima kasih sayang....”
(Refleksi updated 24 Mei 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar