Sabtu, 12 Mei 2012

Ramadhan di musim gugur

RAMADHAN DI MUSIM GUGUR

HJ. IGA WIDARI, SE, M.Pd.

Momen tinggal, berpuasa dan lebaran di negara Kanguru adalah salah satu kenangan terindah dalam hidupku dan keluargaku. Tahun pertama, 1999.  Saat itu, saya dan suami baru saja menikah. Sejak lulus beasiswa pendidikan doktoralnya, aku menyusul suamiku ke Adelaide, Australia. Adelaide merupakan negara bagian Australia. Walau tidak luas, kota ini sangat maju, mungkin karena aku membandingkannya dengan kota kelahiranku di Indonesia. Saat pertama kali aku memasuki kota ini, aku tidak henti-hentinya kagum atas kebesar-Nya. Karena Dialah, aku bisa berada di tempat ini dengan selamat. Kami tinggal di salah satu kawasan pinggir kota atau “suburb”, yaitu Highgate. Di sekitar suburb itu ada berberapa teman keluarga Indonesia. Tapi kalau ditempuh dengan berjalan kaki, cukup jauh juga. Sesekali kami saling mengunjungi untuk bercerita ataupun masak bareng. Waktu itu, aku mengandung putra kami yang pertama, usia kandunganku baru 4 bulan. Hari-hari pertama kujalani dengan baik, aku mampu berkomunikasi walau dalam bahasa Inggris yang sederhana. Awal-awal yang sulit mampu kulewati. Ini karena motivasi dari suami, teman, dan khususnya orang tuaku yang selalu meyakinkan aku, bahwa orang baik akan bisa hidup di manapun. Kata-kata itu selalu menjadi penyemangat dalam hidupku.
Di penghujung tahun 1999, tepatnya 17 Ramadhan, 24 Desember 1999, alhamdulillah putra kami lahir dengan selamat. Hal inilah yang membuatku selalu ingat dengan bulan Ramadhan, momen yang terpenting dalam hidupku, dan aku ingat sepanjang hidupku. Aku kagum dengan suamiku, yang menjalani puasanya sambil mendampingi aku di rumah sakit. Aku makan siang dengan sayur dan nasi, karena kami tidak bisa memakan daging atau ayam yang tidak dibeli di “halal shop”. Bulan Desember di Adelaide waktu itu bertepatan dengan musim panas (summer), dan panasnya hingga 42 derajat. Waah panas sekali kalau di rumah tidak ada AC atau pendingin. Alhamdulillah kami sudah mempersiapkannya jauh sebelum putra kami lahir.
Hari kemenangan datang juga. Seperti rutinitas kita di Indonesia, semua keluarga membeli persiapan untuk menyambut lebaran, seperti baju baru, makanan yang enak dan berkumpul dengan sanak famili. Sehari sebelumnya, kami pergi ke pasar yang lumayan jauh dari tempat  tinggal kami. Lumayanlah, kira-kira menghabiskan waktu setengah jam dengan menggunakan bis. Dengan mendorong kereta bayi, kamipun mulai berbelanja, rasa jenuh di rumah, dengan rutinitas sebagai ibu rumah tangga, seakan-akan hilang setelah sampai dipasar. Kami bertemu dengan teman-teman dari Indonesia, berbagi cerita tentang makanan spesial untuk lebaran ataupun saling mengingatkan undangan untuk  “Garden Party”, setelah shalat nanti. Tak  terasa belanja kamipun penuh. Sampai-sampai putra kamipun tertidur. Aku memeriksa kembali belanjaanku, siapa tahu ada yang terlupa. Uppsss... tenyata aku lupa santan untuk membuat kari ayam. Biasanya ibu-ibu yang ssudah senior, artinya anak-anak mereka ssudah besar, menelponku atau berkunjung ke rumah dan menasehatiku agar tidak masak yang ribet-ribet. Mungkin mereka paham karena putraku Furqan masih berumur satu bulan. Ini yang harus jadi prioritas.
Undangan “Garden Party” kubaca melalui e-mail. Setiap kubaca e-mail tersebut, akupun merasa terhibur. Setiap malam minggu aku menelpon keluargaku di Indonesia. Terkadang berlinang air mataku ketika mereka bertanya ”Ndak pulang lebaran, kita semua ingin ketemu”. Di saat seperti itu, hati ini dilanda home sick, semuanya terbayang di depan mata. Masakan spesial ibu plus es buahnya, senyum ramah dari semua keluarga. Waah kalau ssudah ngumpul, pasti seru. Keluarga dari luar daerahpun ikut berkumpul, menambah semarak suasana. Dari cerita sekolah, perkembangan studi, dan lain-lain. Kudengar suara yang begitu dekat denganku menutup teleponnya. Aku melamun sejenak. Ada rasa sepi, hampa, tapi untunglah perasaan itu bisa kuatasi dengan melihat senyum putra pertamaku yang makin hari, makin besar.
Jam waktu Adelaide menunjukkan pukul 9.15. Saat itu aku menemani suami berbuka puasa untuk malam terakhir, karena besok ssudah lebaran. Setelah membereskan semuanya, akupun mempersiapkan untuk memasak opor ayam kesukaan suamiku.
Hari itu aku bangun lebih pagi dari  biasanya, kupersiapkan sarapan  sekedarnya, lalu mandi. Semua sudah siap untuk berangkat ke masjid. Kami numpang mobil teman suamiku, sedang mobil kami ada gangguan teknis. Mobil Pak Komar, teman suamiku, telah sampai. Sewaktu bekerja di Jakarta, suamiku sudah bersahabat dengan Pak Komar. Istrinyapun sedang studi S3 di Adelaide, jadi mereka bisa bertemu kembali. Kamipun berangkat. Di Adelaide ada 3 masjid, yang paling besar adalah “Arabic Centre and Mosque” yang berada beberapa kilometer dari Underdale, kampus suamiku.
Mobil terus melaju menuju masjid. Saat memasuki halaman masjid, gema takbir berkumandang “Allahuakbar 3x, Lailahaillallah huwallahuakbar. Allahuakbar walillaahilham. Ayat-ayat al-Qur’an terasa menyejukkan hati. Rasa terharu menyelinap dalam hatiku saat itu. Semua orang berbusana rapi, para ibu menggunakan gamis, serasi dengan jilbabnya. Lingkungan masjid yang bersih, tamannya pun tertata  dengan rapi. Ruangan untuk ibu dan anak, toilet untuk laki-laki dan perempuan, semuanya komplit. Ada aneka macam biskuit serta aneka macam minuman yang diletakkan di pekarangn masjid. Tak terasa shalat  ied pun dimulai. Dengan khusuk semua orang berkonsentrasi dengan taujih khatib dalam bahasa Arab dan Inggris. Tak terasa shalatpun selesai. Semua jamaah bersalaman, saling merangkul, dan bermaaf-maafan. Betul-betul momentum yang langka dan terindah dalam hidupku. Di sini aku bisa bertemu dengan teman-teman muslim dari banyak negara, seperti Pakistan, Iran, Turki, Bangladesh, Malaysia dan masih banyak lagi.
Ada juga muslim dari Jepang yang merasa senasib (perantau), sehingga perasaan yang muncul adalah keinginan untuk igin bertemu di hari-hari yang lain. Biasanya suami mengajakku ke masjid setiap hari Jum’at. Karena biasanya ada banyak ibu-ibu yang hanya mampir untuk menemani suami ataupun yang shalat, dari Indonesia maupun dari negara-negara lain. Ini merupakan salah satu cara sumiku agar aku tidak sedih lagi. Kalau sudah ketemu dengan teman-teman rasanya seperti di Indonesia. Ini salah satu komentar dari beberapa ibu-ibu yang kutemui.
Tahun kedua, kami berlebaran di Indonesia karena saat-saat itu suamiku kebetulan mengadakan riset di Lombok-NTB selama 8 bulan. Tentunya keluaga sangat senang. Aku bercerita banyak hal tentang suasana lebaran di Aussie. Mereka membayangkan bisa seperti kami. Waktu begitu cepat berlalu. Dan kami harus kembali ke Adelaide.
Pada tahun ketiga, aku merencanakan untuk bekerja di perusahaan. Dan Alhamdulillah setelah 3 bulan kutunggu, akhirnya lamaranku pun terjawab dan aku diterima bekerja. Selama kami tinggal di Aussie, Ramadhan kami jalani selalu bersamaan dengan “summer”. Tapi Alhamdulillah kami bisa menjalaninya dengan lancar. Ini mungkin karena kami selalu beraktivitas. Selama aku bekerja, kutitipkan putraku di “Playgroup”, dekat kampus suamiku.  Sejak aku bekerja, teman-temankupun bertambah banyak. Kalau kami off atau tidak bekerja, kami sering mencoba resep-resep baru, dengan membuat jadwal secara bergantian.
Tahun ini lebaran dirayakan bersamaan bulannya dengan perayaan “Christmas” bagi umat  Kristiani. Bagi umat muslim yang saling menghargai dan saling menghormati perbedaan kepercayaan, kami tidak menutup diri, artinya kami bergaul dengan siapa saja. Alhamdulillah teman kerjakupun (mayoritas Nasrani dan dan dominasi penduduk Australia) mampu menghargai kami. Bahkan tidak disangka mereka juga tahu kalau kami berpuasa 30 hari, dan setelah itu akan datang hari kemenangan.Merekapun tahu dan kadang bertanya tentang Islam. Siang itu udara sangat panas, tapi kami tetap berpuasa walau sedang bekerja sampai jam 2 yang dimulai sejak jam 6 pagi. Alhamdullah manejer perusahaan kami paham kalau kami sedang berpuasa.
Salah satu bentuk adanya saling menghargai antara kami adalah pada saat kami diundang untuk merayakan Christmas atau natal bersama di perusahaan. Saat  yang sama kami sedang menjalankan ibadah puasa. Tidak ada suatu keharusan kami harus datang ke acara tersebut. Mereka mengharagai keputusan yang kami ambil, tanpa ada rasa tersinggung atau kesal. Biasanya kalau perayaan seperti inipun, jenis makanannya ada yang vegetarian dan “seafood”, makanan yang biasa kami makan. Karena tidak semua jenis makanan yang bisa kami konsumsi, kami boleh mengkonsumsi masakan ayam dan daging jika dibeli di “Halal Shop”.
Lebaran tahun ini agak berbeda dari tahun sebelumnya, karena sekarang putra kami sudah besar (kurang lebih 3 tahun), diapun sudah pandai shalat. Dengan lucunya ia meniru gerakan shalat kami, sepertinya diapun sangat senang. Bangunan “Arabic Centre & Mosque” yang megah dengan kaligrafi di tengah-tengah mimbar. Dulu, waktu kami tinggal di Highgate, dekat dengan kota, tapi jauh dari kampus suamiku. Makanya setelah kami kembali dari Indonesia, kami memutuskan untuk menyewa “flat” yang dekat dengan kampus, dekat dengan bandara, dan kebetulan dekat juga dengan “Asian Grocery” dan “pizza halal”.
Di Adelaide, kami mempunyai perkumpulan masyarakat muslim Indonesia se-Australia Selatan (MIIAS), melalui e-mail diinformasikan bahwa ada acara halal bi halal sekaligus makan siang di “Botanical Garden”. Rasanya sudah tidak sabar ingin mencicipi menu-menu Nusantara. Kali ini, lebaran yang kami jalani berbeda dengan tahun sebelumnya. Sekarang kami lebih menikmati kebersamaan kami seperti di Indonesia. Semalam aku sudah memasak kari ayam, sambal goreng daging dan krupuk. Oh ya, untuk acara halal-bihalal, biasanya ibu-ibu sudah pesan dua hari sebelumnya, agar aku buat lemper. “Itu khan masakan Bu Iwan, bawa nanti ya”, canda bu Sugeng, teman suamiku yang mengambil  S2-nya. Biasanyanya, kalau acara ngumpul-ngumpulseperti itu, ibu-ibu membawa masakan khas daerahnya masing-masing, misalanya rendang (masakan Padang), soto Banjar, coto Makasar, gudeg Jogja, empek-empek Palembang, bakso, sate dan lain-lain. Jadilah serangkaian masakan Nusantara. Siang itu udara sangat cerah. Kami telah sampai di “Botanical  Garden”, teman-teman sudah menunggu, semua berwajah ceria. Acara berjalan dengan santai. Tak terasa hari menjelang sore. Biasanya saat pulang ibu-ibu sibuk mengatur hidangan sambil tukar-tukar masakan, semua kebagian walau sekedar es buah. Ku ingat waktu itu aku hanya kebagian soto Banjar. Yach jadinya seperti ada di Banjar nich, candaku pada Mbak Tuti yang kelahiran Banjarmasin. Ternyata lemper Lombok buatanku pun laris manis. Tak lama setelah kami sampai di rumah, tamupun berdatangan, teman Indonesia yang tidak sempat hadir di acara siang itu. Biasanya kalau kami berkunjung ke rumah teman, tidak lupa kami membawa snack, yach sekedar oleh-oleh untuk tuan rumah. Dan biasanya, kalau teman tersebut kebetulan membuat menu yang spesial, kamipun ditawarkan untuk mencicipinya, “wah barter” dong, inilah situasinya, yang mungkin bia dikatakan telah menjadi tradisi.
Kini enam tahun berlalu, aku dan suami sedang mengemban tugas berat, merintis sebuah peradaban baru di salah satu pulau di Nusa Tenggara Barat. Kenangan dan pengalaman berharga di negeri Kanguru menjadi catatan-catatan penyemangat yang kami sampaikan kepada para mahasiswa kami di kampus yang dibangun oleh suamiku bersama teman-temannya, termasuk aku. Mudah-mudahan anak-anak negeri yang kami bina kelak bisa mengecap pengalaman-pengalaman internasional. Amiin. 
(Refleksi updated 14 September 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar