Sabtu, 12 Mei 2012

my second job for all family


MY SECOND JOB FOR ALL FAMILY
HJ. IGA WIDARI, SE, M.Pd.

Saya berusaha mengatasi kejenuhan dan kebosanan yang menjadi rutinitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Mengapa jenuh? Anak-anak sudah besar, artinya mereka sudah sedikit mandiri, tidak digendong lagi. Setelah membereskan rumah dan memasak selesai, otomatis saya menganggur, banyak waktu yang terbuang.
Beberapa tahun lalu, saya berpikir untuk membuka les bahasa Inggris untuk anak-anak SD, agar anak-anak saya tidak perlu les di tempat yang lokasinya agak jauh dari rumah. Ide inipun didukung oleh suami tercinta yang memang menekuni bahasa Inggris sebagai salah satu disiplin ilmunya. Yach, hitung-hitung sebagai selingan sekaligus menyegarkan ilmu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Sejak pulang ke Indonesia empat tahun lalu, dengan lingkungan yang tidak ada orang asing, suasana untuk menghadirkan bahasa global tersebut sangat diperlukan.
Kegiatan les berjalan. Kami mempunyai dua group les bahasa Inggris untuk anak-anak SD dari kelas 2 sampai kelas 6.  Namun, saya tidak menyangkal bahwa cukup banyak masalah pada awalnya dan kadang-kadang muncul lagi, seperti anak-anak kadang rewel dan mencari perhatian ketika saya akan mengajar maupun saat pelajaran berlangsung. Tapi, alhamdulillah semuanya bisa teratasi dengan kesabaran.
Sambil mengajar, saya masih bisa memberikan perhatian kepada anak-anak saya. Suatu saat pernah saat saya mengajar kursus, eh tahunya si kecil sampai tertidur di dekat saya. Sungguh diapun bisa menikmati suasana belajar ini. Dunia anak-anak memang unik. Mungkin rasa ego mereka yang lebih dominan sebelum bisa berpikir secara rasional dan butuh waktu agar hatinya bisa menjadi tenang. Kalau merasa agak sibuk, kami mendatangkan guru tamu.
Di perguruan tinggi yang dikelola suami, saya bekerja paruh waktu (part-time). Dalam satu minggu saya hanya mengajar dua mata kuliah untuk dua hari dan dua hari lain menjadi deputi koordinator keuangan yang bertugas memeriksa keuangan kampus yang sehari-hari dikelola oleh dua orang bendahara. Untuk itu setiap ada waktu luang, terutama malam dan pagi hari saya berusaha menyibukkan diri dengan anak-anak. Dan saat anak-anak sudah tidur atau setelah shalat shubuh, saya berusaha belajar dan menyiapkan bahan-bahan kuliah untuk mengajar di kelas. Dan untuk menjaga kebugaran tubuh dan stamina, saya dan suami menyempatkan diri untuk berjalan pagi keliling kompleks, dan setelah itu bermain tenis meja di rumah sekitar satu jam.
Hari Minggu pastilah adalah hari yang ditunggu oleh setiap keluarga, karena pada hari inilah mereka bisa berkumpul semua. Namun, bagi kami untuk saat ini hari Minggu tidak ada bedanya dengan hari-hari yag lain, karena saya memiliki jadwal kuliah S2 dari pagi sampai sore. Dan suami juga menjadi salah satu dosen program pascasarjana tersebut. Makanya anak-anak kadang-kadang protes, “mommy dan daddy keluar-keluar terus, kita ndak pernah diajak, enak sich kalau bisa ke mana-mana.” Itulah komentar dua anak  kami bila kami akan berangkat. Apalagi yang sulung, kalau sudah dijanjikan sesuatu terus meminta untuk dipenuhi, sementara adiknya mendukung dan mengikuti apa saja yang dikatakannya. Untuk itu, walau kami sering pulang malam hari, kami pun langsung keluar untuk berusaha memenuhi apa yang mereka mau. Itupun tergantung jenis permintaannya. Kalau sekiranya permintaan mereka berlebihan, kami tidak menyetujuinya, dan kami ganti dengan beberapa alternatif yang lain yang tidak mengeluarkan cost yang besar, tapi menghibur. Sering saya mengingatkan suami untuk berhati-hati jika menjanjikan sesuatu pada anak-anak, untuk menghindari sifat pemborosan dan menjadi kebiasaan yang kurang mendidik.
Duh, kalau cerita tentang si bungsu, juga tidak kalah seru. Bila saya sedang bersiap-siap menghadiri pertemuan atau kegiatan organisasi di pagi hari, diapun tidak kalah sibuknya menyiapkn diri, seperti mandi pagi-pagi dan memakai pakaian yang pantas. Timbul pertanyaan dari mulut kecilnya, “Mommy mau kemana? Faiz ikut ya?” katanya pada suatu pagi. Ini sering sekali terjadi. Saya berusaha menjawab dengan tenang “Mommy pergi sebentar koq, mau ada pertemuan ibu-ibu dan di sana tidak ada anak kecil yang ikut.” Dia tidak kehilangan akal. Ia mulai rewel dan minta uang sebagai konpensasinya, dan tidak berhenti sampai di situ; dia pun mulai nangis lagi. Dalam hati, saya bergumam “gimana nich?” Waktu pertemuan sudah lewat 15 menit. Sayapun mengambil inisiatif dan termasuk tips jitu yang sering saya pakai yaitu memeluk dan mencium kedua pipinya agar dia bisa tenang kembali. Tapi itu ternyata tidak cukup, dan akhirnya saya pun menuntun tangannya dan mengajaknya ke kios dekat rumah untuk membeli cemilan kesukaannya, spontan tangisnya pun reda.
Alhamdulillah juga, sekalipun jauh dari keluarga besar, kami mempunyai teman yang bisa meringankan tugas rumah tangga setiap harinya. Dia sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. Dia tahu batas-batas yang menjadi tanggung jawabnya.        Dia pun bisa menjadi teman baik untuk kedua anak kami. Setelah membeli cemilan yang menjadi pilihannya, iapun merasa puas dan berkata ”Mommy pergi dah, nanti telat, ucapnya polos.” Lalu kucium pipinya sekali lagi, dan diapun melambaikan tangannya dan diiringi oleh senyum kecil yang menghiasi bibirnya yang mungil.  Sambil melangkah pergi saya pun berkata dalam hati, bahwa anak tidak hanya membutuhkan uang (materi), tapi juga butuh perhatian (kasih sayang) sebagai kekuatan dan realisasi rasa cinta kedua orang tuanya pada anak-anaknya.
Ya Alloh, kami titip anak-anak kami pada-Mu, karena Engkaulah pelindung kami di dunia dan akhirat, amin. Karena sesungguhnya apa yang kami miliki sekarang, semua adalah titipan dari-Mu. Dan semoga kelak bisa bermanfat bagi Islam, keluarga, dan negeri tercinta ini, amin ya’ Robbal Alamin.
(Refleksi updated 17 April 2009)

1 komentar:

  1. MasyaAllah,,ideal example of family membership for our future. Makasih buat pengalamannya bu', do'ain saya ya? Ya Allah,,semoga Engkau juga menitipkan buat hamba keluarga yang harmonis.

    BalasHapus