MY
SECOND JOB FOR ALL FAMILY
HJ. IGA WIDARI, SE, M.Pd.
Beberapa tahun lalu, saya berpikir untuk membuka les bahasa Inggris untuk
anak-anak SD, agar anak-anak saya tidak perlu les di tempat yang lokasinya agak
jauh dari rumah. Ide inipun didukung oleh suami tercinta yang memang menekuni
bahasa Inggris sebagai salah satu disiplin ilmunya. Yach, hitung-hitung sebagai
selingan sekaligus menyegarkan ilmu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Sejak
pulang ke Indonesia empat tahun lalu, dengan lingkungan yang tidak ada orang
asing, suasana untuk menghadirkan bahasa global tersebut sangat diperlukan.
Kegiatan les berjalan. Kami mempunyai dua group les bahasa Inggris untuk
anak-anak SD dari kelas 2 sampai kelas 6.
Namun, saya tidak menyangkal bahwa cukup banyak masalah pada awalnya dan
kadang-kadang muncul lagi, seperti anak-anak kadang rewel dan mencari perhatian
ketika saya akan mengajar maupun saat pelajaran berlangsung. Tapi,
alhamdulillah semuanya bisa teratasi dengan kesabaran.
Sambil mengajar, saya masih bisa memberikan perhatian kepada anak-anak saya.
Suatu saat pernah saat saya mengajar kursus, eh tahunya si kecil sampai
tertidur di dekat saya. Sungguh diapun bisa menikmati suasana belajar ini.
Dunia anak-anak memang unik. Mungkin rasa ego mereka yang lebih dominan sebelum
bisa berpikir secara rasional dan butuh waktu agar hatinya bisa menjadi tenang.
Kalau merasa agak sibuk, kami mendatangkan guru tamu.
Di perguruan tinggi yang dikelola suami, saya bekerja paruh waktu (part-time). Dalam satu minggu saya hanya
mengajar dua mata kuliah untuk dua hari dan dua hari lain menjadi deputi
koordinator keuangan yang bertugas memeriksa keuangan kampus yang sehari-hari
dikelola oleh dua orang bendahara. Untuk itu setiap ada waktu luang, terutama
malam dan pagi hari saya berusaha menyibukkan diri dengan anak-anak. Dan saat
anak-anak sudah tidur atau setelah shalat shubuh, saya berusaha belajar dan
menyiapkan bahan-bahan kuliah untuk mengajar di kelas. Dan untuk menjaga
kebugaran tubuh dan stamina, saya dan suami menyempatkan diri untuk berjalan
pagi keliling kompleks, dan setelah itu bermain tenis meja di rumah sekitar
satu jam.
Hari Minggu pastilah adalah hari yang ditunggu oleh setiap keluarga, karena
pada hari inilah mereka bisa berkumpul semua. Namun, bagi kami untuk saat ini
hari Minggu tidak ada bedanya dengan hari-hari yag lain, karena saya memiliki
jadwal kuliah S2 dari pagi sampai sore. Dan suami juga menjadi salah satu dosen
program pascasarjana tersebut. Makanya anak-anak kadang-kadang protes, “mommy
dan daddy keluar-keluar terus, kita ndak pernah diajak, enak sich kalau bisa ke
mana-mana.” Itulah komentar dua anak
kami bila kami akan berangkat. Apalagi yang sulung, kalau sudah
dijanjikan sesuatu terus meminta untuk dipenuhi, sementara adiknya mendukung
dan mengikuti apa saja yang dikatakannya. Untuk itu, walau kami sering pulang
malam hari, kami pun langsung keluar untuk berusaha memenuhi apa yang mereka
mau. Itupun tergantung jenis permintaannya. Kalau sekiranya permintaan mereka
berlebihan, kami tidak menyetujuinya, dan kami ganti dengan beberapa alternatif
yang lain yang tidak mengeluarkan cost yang besar, tapi menghibur. Sering saya
mengingatkan suami untuk berhati-hati jika menjanjikan sesuatu pada anak-anak,
untuk menghindari sifat pemborosan dan menjadi kebiasaan yang kurang mendidik.
Duh, kalau cerita tentang si bungsu, juga tidak kalah seru. Bila saya sedang
bersiap-siap menghadiri pertemuan atau kegiatan organisasi di pagi hari, diapun
tidak kalah sibuknya menyiapkn diri, seperti mandi pagi-pagi dan memakai
pakaian yang pantas. Timbul pertanyaan dari mulut kecilnya, “Mommy mau kemana?
Faiz ikut ya?” katanya pada suatu pagi. Ini sering sekali terjadi. Saya berusaha
menjawab dengan tenang “Mommy pergi sebentar koq, mau ada pertemuan ibu-ibu dan
di sana tidak ada anak kecil yang ikut.” Dia tidak kehilangan akal. Ia mulai
rewel dan minta uang sebagai konpensasinya, dan tidak berhenti sampai di situ;
dia pun mulai nangis lagi. Dalam hati, saya bergumam “gimana nich?” Waktu
pertemuan sudah lewat 15 menit. Sayapun mengambil inisiatif dan termasuk tips
jitu yang sering saya pakai yaitu memeluk dan mencium kedua pipinya agar dia
bisa tenang kembali. Tapi itu ternyata tidak cukup, dan akhirnya saya pun
menuntun tangannya dan mengajaknya ke kios dekat rumah untuk membeli cemilan
kesukaannya, spontan tangisnya pun reda.
Alhamdulillah juga, sekalipun jauh dari keluarga besar, kami mempunyai
teman yang bisa meringankan tugas rumah tangga setiap harinya. Dia sudah kami
anggap seperti keluarga sendiri. Dia tahu batas-batas yang menjadi tanggung
jawabnya. Dia pun bisa menjadi teman
baik untuk kedua anak kami. Setelah membeli cemilan yang menjadi pilihannya,
iapun merasa puas dan berkata ”Mommy pergi dah, nanti telat, ucapnya polos.” Lalu
kucium pipinya sekali lagi, dan diapun melambaikan tangannya dan diiringi oleh
senyum kecil yang menghiasi bibirnya yang mungil. Sambil melangkah pergi saya pun berkata dalam
hati, bahwa anak tidak hanya membutuhkan uang (materi), tapi juga butuh
perhatian (kasih sayang) sebagai kekuatan dan realisasi rasa cinta kedua orang
tuanya pada anak-anaknya.
Ya Alloh, kami titip anak-anak kami pada-Mu, karena Engkaulah pelindung
kami di dunia dan akhirat, amin. Karena sesungguhnya apa yang kami miliki
sekarang, semua adalah titipan dari-Mu. Dan semoga kelak bisa bermanfat bagi
Islam, keluarga, dan negeri tercinta ini, amin ya’ Robbal Alamin.
(Refleksi updated 17 April 2009)
MasyaAllah,,ideal example of family membership for our future. Makasih buat pengalamannya bu', do'ain saya ya? Ya Allah,,semoga Engkau juga menitipkan buat hamba keluarga yang harmonis.
BalasHapus